Eksaminasi/Kajian atas Putusan KPPU
No. 26/KPPU-L/2007 atas dugaan penetapan harga dan kartel harga layanan SMS
(Short Messaging Service)
antara:
antara:
1. PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL)
2. PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel)
3. PT Indosat, Tbk
4. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom)
5.
PT Hutchison
CP Telecommunication (3/Three)
6. PT Bakrie Telecom, Tbk (Esia)
7. PT Mobile-8 Telecom, Tbk (Fren)
8. PT Smart Telecom (Smart)
9. PT Natrindo Telepon Seluler (Axis)
Dalam
putusan ini, pihak KPPU sendiri berfokus pada dua hal yang berkaitan dengan
perjanjian yang dilarang, yaitu (perjanjian) penetapan harga dan kartel SMS
oleh masing-masing pihak operator seluler. Awal mulanya terjadi pada saat para
operator seluler ini membuat sebuah perjanjian, yaitu perjanjian kerjasama (PKS) interkoneksi antar operator, yang
bertujuan menetapkan harga standar guna menjaga interkoneksi (dapat dikatakan
pula ‘stabilitas’) antar operator. BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia) sendiri, dalam hal ini telah mengeluarkan warning mengenai PKS tersebut, dan kemudian melakukan melakukan
penghitungan harga (dengan kerjasama pihak penghitungan tarif telekomunikasi)
untuk mengetahui apakah harga sms selama ini sudah tepat atau belum.
Kenyataannya menunjukkan bahwa harga sebuah SMS kurang dari Rp.100 (selama ini
rata-rata biaya SMS sekitar Rp. 200-350 per SMS), dan itu sudah termasuk
biaya-biaya lain. Dari beberapa
perusahaan operator seluler tersebut, berdasarka fakta yang ditemukan bahwa PT.
Indosat, PT. Hutchison CP Telecommunication, dan PT. Natrindo Telepon Seluler
tidak melakukan penetapan harga dan kartel SMS (dikarenakan unsur keterpaksaan
mereka mengikuti kartel harga SMS).
Legal reason
untuk menghadapi kasus ini yang digunakan oleh KPPU sendiri mengacu pada Pasal
5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu:
Pasal
5 (Penetapan harga)
Pelaku
Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Pasal
11 (kartel)
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Namun
perlu dilihat lebih teliti unsur dari kedua pasal ini, yaitu penetapan harga
dan kartel, di mana walaupun kedua hal ini merupakan macam dari perjanjian yang
dilarang, namun memilki unsur yang berbeda. Pada pasal 5 yang mengatur
(perjanjian) penetapan harga, dapat dilihat bahwa pelaku usaha ini mengadakan
perjanjian guna menetapkan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen
(konsumen di sini yang merasa dirugikan), sedangkan untuk Pasal 11 sendiri,
yaitu kartel berfokus pada pelaku usaha yang membuat perjanjian guna
mempengaruhi harga pasar (yang dirugikan bisa konsumen maupun pelaku usaha lain).
Menurut putusan tersebut dapat diambil satu kesimpulan dimana terjadi penetapan
harga terlebih dahulu dengan membuat perjanjian kerjasama yang kemudian
dijadikan patokan kartel harga SMS operator seluler. Sebenarnya, kartel dan
penetapan harga ini merupakan satu kesatuan (walaupun ada perbedaan sedikit
mengenai substansi di dalamnya), seperti yang dikemukakan oleh Andi Fahmi
Lubis, dkk (2009: 107) penetapan harga termasuk bagian dari kartel.
Pertimbangan lain KPPU bahwa kartel harus dilakukan oleh pelaku usaha mayoritas
yang menguasai pasar, seperti halnya Telkomsel dan XL (pemain lama).
Pertimbangan
KPPU sendiri, diantaranya bahwa kartel harga dari beberapa operator ini telah
dilakukan sejak 2004 sampai dengan 2008, dengan omzet yang cukup banyak,
sekitar 133 milyar rupiah yang tidak sebanding dengan kerugian konsumen. Hal ini tentu saja wajar, karena operator
seluler ini ingin menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Bahkan, ini juga terjadi
harga yang tidak masuk akal, seperti yang sudah diuraikan di atas, yaitu harga
per SMS diantara Rp. 250-350 (padahal dengan melihat cost pada operator hanya sekitar Rp. 30-an saja). Konsumen juga
dalam hal ini have no choice, tidak
dapat berbuat apa-apa, dan juga secara tidak langsung terjadi pen-dikte-an
terhadap konsumen mengenai harga.
Perlu
diketahui juga bahwa penetapan harga dan kartel ini adalah per se illegal, yang dapat diartikan secara tegas dilarang. Menurut
Johnny Ibrahim (2007: 223):
Apabila
para pelaku usaha tidak mampu mengendalikan dirinya dan melanggar ketentuan
hukum yang mengaturnya (per se illegal),
maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian
pelaku usaha yang bersangkutan sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang
dilarang tanpa melihat lagi efek yang ditimbulkannya.
Hal
ini tercermin dalam putusan KPPU pada kasus penetapan harga dan kartel SMS,
bahwa dalam proses pembuktian sudah secara jelas menyatakan dan membuktikan
bahwa Telkomsel, Telkom, XL, Esia, Fren telah melanggar ketentuan pasal 5 UU
No. 5 Tahun 1999.
Referensi
Andi
Fahmi Lubis, dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks,
Jakarta: kerjasama antara Indonesia dan Deutsche GTZ (Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit).
Johnny
Ibrahim. 2007. Hukum Persaingan Usaha
Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Malang: Bayumedia
Publishing.
0 komentar:
Posting Komentar