Kamis, 26 Juni 2014


Uraian kasus Rawa Tripa

-       Rawa Tripa adalah kawasan rawa yang memiliki lahan gambut terletak di Kabupaten Nagan Raya, sebelah barat daya Provinsi Aceh, dengan luas 61.803 hektar, yang memiliki berbagai keanekaragaman hayati, seperti orang utan, tumbuh-tumbuhan, dsb. Rawa Tripa juga berjejeran dengan kawasan Pegunungan Leuser. Rawa Tripa ini juga termasuk dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang memasukkan Rawa Tripa sebagai Kawasan Strategis berfungsi lindung.
-          Atas potensi lahan yang ada di kawasan Rawa Tripa ini, ada beberapa perusahaan yang tertarik akan pemanfaatan kawasan lahan Rawa Tripa, yang salah satunya adalah PT Kalista Alam. PT Kalista Alam sendiri telah mendapat izin usaha dari Gubernur Aceh untuk menggarap lahan seluas 1.605 hektare tertanggal 25 Agustus 2011. Sementara itu Badan Pertanahan Nasional juga telah mengeluarkan izin Hak Guna Usaha (HGU) dan juga izin dari Bupati Nagan Raya yang berlaku selama tiga tahun.
-          Dengan izin-izin tersebut, PT Kalista Alam pun telah mengoperasionalkan kegiatan perusahaannya, seperti penanaman dan pengolahan kelapa sawit, pembukaan lahan baru untuk perluasan kebun, dsb. Tentunya, dengan kegiatan seperti ini, ekosistem yang berada dalam Rawa Tripa menjadi terganggu, dengan adanya pembakaran hutan gambut, penebangan pohon, dsb. Akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kepentingan, luas Tripa yang semula 62.000 hektar kini 11.000 hektar. Luas yang tersisa itu pun terfragmentasi.
-          Tindakan yang dilakukan oleh PT Kalista Alam ini pun memuculkan reaksi dari WALHI, yang mana bahwa seperti yang sudah disebutkan, bahwa Kawasan Rawa Tripa merupakan Kawasan Ekosistem Leuser. Pada tanggal 18 April 2012, Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP), Yayasan Ekosistem Leuser, dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Aceh menyelamatkan orangutan jantan di hutan gambut Rawa Tripa. ”Kami melihat orangutan ini tiga bulan lalu. Kini, 30 persen berat tubuhnya menyusut. Bisa mati kelaparan,” ucap Yenny Saraswati dari SOCP. Temuan ini menunjukkan Rawa Tripa tertekan perkebunan sawit yang masif. Indrianto dari Yayasan Ekosistem Leuser mengatakan, bila kondisi ini dibiarkan, kian banyak orangutan ditangkap/dibunuh dan diperdagangkan. Orangutan kelaparan menyerang kebun sawit untuk memakan pucuk sawit muda. WALHI pun juga telah menggugat (banding) Gubernur Aceh terkait izin perluasan kebun PT Kalista Alam, yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan (Putusan Nomor: 89/B/2012/PT.TUN-MDN tertanggal 30 Agustus 2012; catatan bahwa sebelumnya WALHI menggugat pada PTUN Aceh namun pada tanggal 3 April 2012 gugatan tersebut ditolak) yang intinya memerintahkan Gubernur Aceh untuk mencabut izin usaha perkebunan budidaya PT Kalista Alam di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya (perlu diketahui pula bahwa izin ini dikeluarkan di tengah instruksi presiden untuk menunda izin baru di hutan/gambut).
-          Selain itu, reaksi juga datang dari REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, REDD+) adalah sebuah skema global yang memberikan insentif positif kepada negara berkembang yang mau dan mampu mengurangi emisi gas-gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.  Pada perjalanannya, selain deforestasi dan degradasi hutan, REDD+ juga mencakup peran konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon). Pada tanggal 18 April 2012, Ketua Satgas REDD+ Indonesia, Kuntoro Mangkusubroto membuat surat yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan perihal pembaharuan peta indikatif moratorium PT Kalista Alam. Surat tersebut menjelaskan tentang kronologi seputar perizinan dan kedudukan areal PT Kalista Alam dalam peta indikatif moratorium. Kronologis ini,  pada 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh menerbitkan izin usaha perkebunan sawit kepada PT Kalista Alam seluas 1.605 hektare di Rawa Tripa. Di wilayah ini, sesuai peta Kepmenhut No. 323/2011 tanggal 17 Juni 2011, berada dalam wilayah peta moratorium. Lalu, wilayah PT Kalista Alam ini tidak termasuk dalam peta indikatif moratorium hasil revisi berdasarkan Kepmenhut 7416/2011 pada 22 November 2011. Pengeluaran wilayah PT Kalista Alam berdasarkan data BPN, bahwa terdapat hak guna usaha (HGU) di lokasi itu. Lalu, surat Kuntoro, menyatakan, Satgas REDD+ menerima pengaduan dari masyarakat sehubungan dengan kondisi ini.
-          Pada 1-3 April 2012, telaah investigasi lapangan, ditemukan wilayah perluasan perkebunan sawit PT Kalista Alam 1.605 hektare, belum diterbitkan HGU atas nama perusahaan itu ataupun perusahaan lain. “PT Kalista Alam memiliki izin lokasi dari Bupati Nagan Raya, yang berlaku selama tiga tahun dan berakhir 5 Februari 2011.” Surat ini menyebutkan, temuan Satgas REDD+ diverifikasi kepada BPN pada 12 April 2012. BPN membenarkan temuan ini. Surat itu juga menyampaikan, investigasi lapangan menunjukkan sebagian lahan PT Kalista Alam sudah ditanami sawit. Ada yang siap ditanami dan sebagian besar masih hutan. Surat juga menyatakan, berdasarkan dokumen UKL/UPL (upaya pengelolaan lingkungan-upaya pemantauan lingkungan) PT Kalista Alam menunjukkan, sebagian besar wilayah ini kawasan bergambut. “Surat Ketua Satgas REDD+ ini melampirkan peta, foto dan dokumen,” ucap Elfian dalam pernyataan pers. Surat ini juga meminta kepada Menteri Kehutanan meneliti masalah sesuai Inpres moratorium dan menetapkan kembali wilayah PT Kalista Alam masuk peta moratorium.
-          Reaksi balik muncul dari surat balasan yang dikelurkan oleh Dirjen Planologi Kehutanan. Dirjen ini yang menandatangi peta indikatif moratorium atas nama Menteri Kehutanan kala menanggapi surat Ketua Satgas REDD+. Dirjen Planologi Kehutanan melayangkan surat kepada Kepala BPN  pada 4 Mei 2012, dengan tembusan Menteri Kehutanan dan Ketua Satgas REDD+. Dalam surat ini, Dirjen menyebutkan, 18 November 2011, dilakukan pembahasan final atas draf peta indikatif moratorium revisi I yang dihadiri UKP4, Kemenhut, Kementan, Bakosurtanal dan BPN. Hasil pembahasan final pada 22 November 2011, diterbitkan Kepmenhut 7416/2011 tentang peta indikatif moratorium revisi pertama.
-          Dalam surat Dirjen itu dinyatakan, hasil verifikasi kepada BPN tentang perluasan PT Kalista Alam, ternyata belum diterbitkan HGU. Surat Dirjen menyatakan, ada perbedaan antara data yang diterima Kemenhut dari BPN saat penyusunan peta indikatif moratorium revisi pertama, dengan data yang diberikan BPN kepada UKP4. Atas dasar itu, Dirjen Planologi, meminta klarifikasi ulang terhadap seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN dalam peta revisi satu. Terutama terhadap areal perluasan PT Kalista Alam, sebagai bahan peta indikatif moratorium revisi dua yang akan terbit Mei ini.

2.    Permasalahan hukum yang terjadi
-          ketidakjelasan fungsi dari kawasan lindung, yang mana peralihan penggunaan lahan gambut Rawa Tripa menjadi perkebunan sawit.
-          Perizinan yang tidak jelas, di mana terdapat dualisme perizinan yang diterbitkan oleh BPN dan Gubernur Aceh (padahal Rawa Tripa merupakan daerah yang dimoratorium dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Kehutanan Alam Primer dan Lahan Gambut).

3.    Analisis hukum
-          Seperti yang sudah dikemukakan dalam uraian narasi di atas, bahwa Kawasan Rawa Tripa merupakan kawasan lindung. Mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam pasal 1 yang dimaksudkan dengan kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya alam. Kawasan lindung ini juga harus dicantumkan dalam rencana pola tata ruang (Pasal 17 ayat (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c untuk skopa nasional; Pasal 23 ayat (1) huruf c untuk skopa provinsi; Pasal 26 ayat (1) huruf a untuk skopa kabupaten; Pasal 44 ayat (2) huruf c untuk skopa perkotaan; Pasal 51 ayat (2) huruf c untuk skopa pedesaan). Penguatan khusus regulasi mengenai kawasan lindung terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang mana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) bahwa ‘kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: (a) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan (b) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup’. Rawa Tripa, sesuai dengan namanya, adalah kawasan rawa yang semestinya digunakan dalam rangka penyangga air, karena di kawasan tersebut, menurut Deddy Ratih dari WALHI, terdapat kubah gambut yang diandalkan fungsi hidrologisnya. Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, dapat menjadikan penjelasan mengapa Rawa Tripa dimasukkan dalam kawasan berfungsi lindung, yang mana dalam satu wilayah pulau perlu adanya kawasan hutan berfungsi lindung dengan luas paling sedikit 30% dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya. Dalam hal ini, betapa penting dan perlunya kawasan lindung dalam suatu wilayah/pulau, sehingga perlu diperhatikan dan bahkan ditegaskan bahwa Kawasan Rawa Tripa tidak dapat dialihfungsikan lahannya (gambut) untuk dijadikan lahan kelapa sawit dan seharusnya PT Kalista Alam bertanggungjawab untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan yang diekspolasi dan dieksploitasi (Pasal 157 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh). Sedangkan dalam peraturan lain, seperti UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 150 ayat (1) disebutkan bahwa ‘Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.’, dan juga dikuatkan dalam ayat (2) ‘Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1).’ Dalam hal ini berarti Pemerintah Aceh telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pada Pasal 150 ayat (1) dan (2). Perlu juga catatan bahwa PT Kalista Alam sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit, yang juga harus berpedoman pada UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dalam Pasal             24 ayat (2), secara tegas menyatakan bahwa wilayah geografis yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan. Sementara itu dalam Pasal 25 ayat (1) juga ditegaskan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.   
-          Mengenai perizinan, sebenarnya telah dicantumkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terdapat dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 41. Perlu diperhatikan dalam Pasal 40 yang intinya menyatakan bahwa setiap orang/badan hukum  yang akan menyelenggarakan usahanya harus mengajukan izin lingkungan terlebih dahulu, dan atas izin lingkungan ini merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan. Izin lingkungan ini diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya [Pasal 36 ayat (4)].  Ini tidak menjadikan masalah, karena memang sudah diterbitkan izin dari Gubernur Aceh maupun Bupati Nagan Raya. Namun, dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Kehutanan Alam Primer dan Lahan Gambut, yang memberikan moratorium bagi Kawasan Rawa Tripa pula untuk dialihfungsikan lahannya oleh PT Kalista Alam (dalam lampiran Inpres tersebut kawasan Rawa Tripa diberi tanda merah yang menandakan bahwa kawasan tersebut terdiri atas lahan gambut). Artinya bahwa Kawasan Rawa Tripa merupakan kawasan yang dimoratorium, sehingga sudah seharusnya, Gubernur Aceh dan Bupati Nagan Raya, termasuk juga dari BPN menunda pemberian izin (termasuk izin perluasan) kepada PT Kalista Alam.
Sumber


0 komentar:

Posting Komentar