Hukum
itu buatan manusia, atau dapat dikatakan artifisial. Oleh karena hukum buatan
manusia, pastilah ia memiliki maksud untuk dibuat. Dari sinilah filsafat
diperlukan untuk mencari apa itu hukum, apa itu hakikat hukum.[1]
Kita mengetahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk mengatur
perilaku manusia.[2]
Namun juga, sampai saat ini dapat dikatakan belum ada mengenai jawaban tentang
hakikat hukum itu, karena para ahli memandang hukum juga bergantung dari sudut
pandangnya sendiri.
Salah
satu sumbangan pemikiran tentang hukum adalah pemikiran dari O. Notohamidjojo,
yang secara khusus dibahas dalam paper ini. Walaupun dari sudut pandangnya
sendiri untuk mendefinisikan hukum, beliau juga menggunakan beberapa pemikiran
dari ahli hukum untuk meramu dan mengkombinasikan hakikat hukum itu sendiri. Menurut
beliau, sebagaimana yang diungkap penulis, bahwa hukum itu memiliki dua tujuan
pokok, yaitu memanusiakan manusia dan keadilan (yang nanti akan dibahas
tersendiri dalam pembahasan). Kedua tujuan ini sangat esensial sekali, karena
hukum itu harus memiliki kedua tujuan tersebut.
2. Rumusan
Masalah
Atas
uraian dari pendahuluan di atas maka rumusan masalah yaitu:
1. Apakah
memanusiakan manusia dan keadilan?
2. Bagaimana
hubungan memanusiakan manusia dan keadilan?
3. Pembahasan
Sebuah
pemikiran filsafatis tentang hukum dari O. Notohamidjojo yang terkenal sampai
saat ini adalah tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu memanusiakan manusia dan
keadilan, sebagaimana mengutip pendapat beliau tentang definisi hukum:
Hukum ialah kompleks peraturan
yang tertulis dan tidak tertulis, yang biasanya bersifat memaksa bagi kelakuan
manusia dalam masyarakat, yang berlaku dalam berjenis lingkungan pergaulan
hidup dan masyarakat negara (serta antar negara) yang mengarah kepada keadilan (--kursif--penulis), demi tata
serta damai, dengan tujuan memanusiakan
manusia (--kursif-- penulis), dalam masyarakat.
Penulis memulainya dengan
memanusiakan manusia sebagai pembahasan awal. Jika dapat
dijelaskan secara parsial, maka memanusiakan manusia intinya terdapat dalam
manusia itu sendiri. Siapakah yang disebut manusia itu? Dalam bukunya yang
berjudul Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum,
O. Notohamidjojo mengemukakan terdapat tiga kunci yang berhubungan dengan kemanusiaan
dalam pandangan filosofis-antropologis yang esensial, yaitu manusia itu obyek,
subyek, dan relasi. Manusia sebagai obyek, berarti ia dapat dilihat, mengisi
ruang, dan dapat dilukiskan dengan nyata. Manusia sebagai subyek, berarti
melihat secara personal manusia itu sendiri; manusia itu aku, dapat memilih
(dan menentukan pilihan), bukan seperti mesin. Manusia sebagai relasi,
mengandung pengertian bahwa ia tidak mengkin hidup seorang diri, melainkan
berhubungan (memilki perhubungan) dengan manusia yang lain dalam kenyataan (mengutip
pendapat dari Martin Buber: relasi aku-kau, dimana terdapat pihak atas (Tuhan);
pihak samping (sesama manusia); dan pihak bawah (terkait dengan properti/kebendaan)),
sehingga memilki kebebasan yang bertanggungjawab.
Adapun
memanusiakan manusia, sebagaimana telah dijelaskan oleh O. Notohamidjojo adalah
memperlakukan manusia menurut hakikatnya dan tujuan hidupnya (di sinilah letak
memanusiakan manusia). Hakikat manusia sudah dijelaskan dalam uraian diatas,
bahwa manusia itu adalah sebagai subyek, obyek dan relasi, sedangkan tujuan
hidup manusia adalah apa yang manusia ingin capai dalam hidupnya. Menurut hemat
penulis, hakikat dan tujuan manusia adalah satu kesatuan dan terdapat korelasi
di dalamnya, yaitu dalam tujuan hidup manusia kita dapat melihat bahwa manusia
dilihat sebagai subyek, di mana manusia dapat berpikir dan memilih tujuan
hidupnya sendiri. Oleh karena itu, lebih lanjut manusia bukan hewan, yang boleh
sewenang-wenang diperlakukan.
Kedudukan
manusia sendiri sudah diakui dan dijamin secara internasional, dengan
pengukuhannya dalam UDHR 1945 (Universal
Declarations of Human Rights) PBB, di mana manusia memilliki dignity of man, yang berarti keluhuran.
Keluhuran ini harus dihormati oleh sesama manusia, dengan tidak mengadakan
pembedaan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Oleh karena itu,
sudah sepatutnya para penggembala hukum menggunakan sifat ini dalam menegakkan
hukum, untuk memanusiakan manusia; manusia diperlakukan sebagai manusia
seutuhnya bukan seperti hewan yang sewenang-wenang diperlakukan.
Tujuan
kedua dari hukum adalah keadilan (Iustitia).
Sebagaimana O. Notohamidjojo mengutip pendapat dari Ulpianus dalam Corpus Iuris dari Justianus (± 500 AD),
yaitu ‘Justitia est constans et perpetua
voluntas ius suum quique tribuere’ yang berarti keadilan ialah kehendak
yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Hukum yang
utama bertujuan mewujudkan keadilan. Adapun juga beberapa jenis keadilan,
sebagaimana mengutip dati pendapat beliau, yaitu keadilan komutatif (Justitia Commutativa, keadilan yang
memberikan kepada masing-masing bagiannya, dengan mengingat supaya prestasi
sama atau sama-nilai dengan kontraprestasi), keadilan distributif (Justitia Distributiva, perhubungan masyarakat
dan manusia pribadi, negara dan manusia pribadi; seperti pangkat, kehormatan,
kebebasan, dsb), keadilan vindikatif (Justitia
Vindicativa, keadilan yang memberikan masing-masing hukumannya atau
dendanya, sebanding dengan kejahatan atau pelanggarannya dalam masyarakat),
keadilan kreatif (Justitia Creativa, keadilan
yang memberikan pada masing-masing dalam negara bagian kebebasannya untuk
menciptakan sesuai dengan daya kreativitasnya dalam bidangnya, dalam kebudayaan
masyarakat), keadilan protektif (Justitia
Protectiva, keadilan yang memberikan kepada masing-masing pengayoman yang
diperlukan dan yang menjadi haknya), dan keadilan legal (Justitia Legalis, keadilan undang-undang; ketaatan menuntut pada
undang-undang). Hukum juga perlu diperdalam oleh keadilan, oleh karena itu
hukum itu ius bukan lex, yang hanya menekankan tentang
peraturan belaka. Keadilan, juga diungkapkan beliau dengan relasinya dengan
memanusiakan manusia, yang secara lengkap penulis kutip:
Keadilan itu bertalian dengan
sikap dan perhubungan kita dengan sesama manusia. Keadilan menuntut daripada
kita, memperlakukan sesama manusia kita seperti kita sendiri mau hidup dan diperlakukan.
Tuntutan yang demikian itu meminta daripada kita paling sedikit suatu
pengekangan diri sendiri. Kita tidak boleh memaksakan kepada pihak lain
kesemau-mauan kita. Kita harus memperhatikan keberadaan pihak lain, hak hidup
pihak lain. Keadilan mewajibkan kita mengakui pihak lain sebagai mahluk yang
pada hakikatnya sama dan sama nilai dengan kita sendiri. Keadilan menempatkan
pihak lain sebagai subjek seperti kita sendiri ingin juga diakui sebagai
subjek. Keadilan menuntut perlakuan seperti kita sendiri ingin diperlakukan.
Keadilan mengucilkan kesewenang-wenangan. Keadilan itu dapat diperhitungkan
dengan pasti, kesewenang-wenangan tidak dapat diperhitungkan, tidak dapat
dipastikan lebih dulu. Kesewenang-wenangan itu tidak dapat diukur (maszlos).
Secara
eksplisit, dalam pernyataan tersebut diatas mengungkapkan bahwa keadilan memang
berdekatan dengan memanusiakan manusia. Kedua-duanya, dapat dikatakan saling
melengkapi satu sama lain, tidak dapat dipisahkan. Keadilan memperlihatkan
eksistensi kita sebagai manusia, dimana keadilan juga mengandung pengertian
persamaan dengan memanusiakan manusia, di mana manusia sebagai subyek, obyek,
dan relasi. O. Notohamidjojo juga menggunakan memanusiakan manusia dan keadilan
ini sebagai acuan untuk pemelihara hukum (penggembala hukum) untuk penggembalaan
hukum.
Dengan
definisi hukum oleh O. Notohamidjojo yang sudah diuraikan di atas, maka pemikiran
hukum beliau juga melawan beberapa pemikiran mengenai hukum yang dipaparkan oleh
para pemikir hukum yang lain, seperti misalnya John Austin dan Hans Kelsen.
Kedua ahli ini sebenarnya mengutarakan pendapat, yang dapat dikatakan hampir
sama, yaitu bahwa hukum selalu identik dengan peraturan yang tertulis
(undang-undang), di mana harus diciptakan oleh suatu penguasa.[3] Peraturan yang dibuat oleh penguasa adalah
‘harga mati’[4],
dianggap sudah baik dan menjawab seluruh permasalahan dan isinya pun juga tidak
begitu dipedulikan, karena hukum ‘dibersihkan’ dari unsur-unsur moral,
keadilan, dan sebagainya. Hal ini jelas sekali sangat kontradiktif dengan apa
yang diutarakan oleh O. Notohamidjojo bahwa hukum itu keadilan (Iustitia). Hukum itu bukan hanya lex saja namun juga ius. Pendapat beliau juga melawan paham utilitarianisme, yang
mengemukakan bahwa hukum bercita-cita mengejar kemakmuran bagi sejumlah orang
banyak, dengan mengorbankan kepentingan segelintir kelompok (individu) untuk
kepentingan umum (the greatest happiness
for the greatest number).[5] Menurut
penulis sendiri, hukum itu memang harus ada unsur keadilan, karena untuk
menjaga supaya tidak ada kesewenang-wenangan. Hukum tanpa keadilan itu kering,
kurang berisi. Hukum dan keadilan menunjukkan (mengingatkan) akan kebinasaan.
Sekali lagi bahwa O. Notohamidjojo mengutarakan hukum dan keadilan itu penting
sekali dan juga mengenai kebebasan manusia dalam pergaulan antar sesamanya,
sebagaimana beliau menjelaskan:
Hukum dan keadilan mengingatkan
kita kepada kedirian kita sebagai manusia yang berekstensi. Hukum dan keadilan
menunjukkan (mengingatkan) akan kebinasaan. Tidak ada keadilan di mana manusa
kehilangan kebebasannya, di mana ia kehilangan eksistensinya. Inti kebebasan
menyediakan ruang bagi keberadaan, ruang untuk menjadi manusia-antar-manusia.
Di situlah pengertian-teras daripada keadilan (justitia). Kebebasan-dalam-keadilan, mengandung arti, kebebasan
dengan sesama manusia. Sebaliknya, keadilan-dalam-kebebasan membuat manusia
berada dalam sesamanya. Hanya dalam keadilan di lingkungan kebebasan, maka Aku
dapat memperolah hakekat Aku. Dalam ekstensi manusia, maka kebebasan
berorientasi pada keadilan; sebaliknya, keadilan harus keadilan yang
berorientasi pada kebebasan.
Namun
perlu diingat bahwa keadilan dapat menimbulkan ketidak-adilan (Summum ius summa iniura) karena sifat
keadilan adalah obyektif dan zakelijk
(tidak memperhitungkan situasi dari pada orang yang bersangkutan).keadilan,
menurut O. Notohamidjojo, perlu dikoreksi menggunakan prinsip aequitas (kepatutan), sebagaimana yang
diungkapkan beliau:
Aequitas (billijkheid, kepatutan) tidak bermaksud untuk mengurangi keadilan. Aequitas mengandaikan keadilan. Aequitas hanya memberikan koreksi apakah
subjek dalam situasi dan keadaan (omstandingheden)
tentu patut memperoleh haknya atau kewajibannya. Aequitas bermaksud untuk meluweskan pengenaan keadilan yang zakelijk, umum, dan keras.
Beliau
juga merujuk juga pada pendapat dari Duynstee bahwa definisi aequitas sebagai kebajikan yang
mendorong manusia untuk mempergunakan apa yang menjadi haknya menurut hukum,
sesuai dengan akal budinya. Jadi aequitas
itu kebajikan, yang menyangkut berjenis keadilan. Aequitas bertalian dengan justitia commutativa, dengan contoh kasus
pada arres (putusan) H.R 1919 tentang
onrechtmatigedaad (perbuatan melawan
hukum).
4. Simpulan
Akhirnya,
memanusiakan manusia dan keadilan adalah hal yang sangat substansial diperlukan
dalam hukum itu sendiri. Hukum adalah ius,
ius adalah keadilan. Keadilan
bagaimana yang seharusnya? Keadilan yang memanusiakan manusia yang sudah
menjadi senyatanya yang terjadi. Hendaknya, atau dapat dikatakan sudah
semestinya para pemelihara hukum memperlakukan manusia sebagai manusia dengan
keadilan. Penguasa dalam membuat rule
juga harus dengan keadilan, karena jika hukum tanpa adanya keadilan hanya
timbul kesewenang-wenangan saja. Namun perlu diperhatikan agar keadilan tidak
menimbulkan ketidakadilan maka harus ada kepatutan (aequitas). Kepatutan mengkoreksi keadilan apakah subyek (seseorang)
patut dalam situasi dan keadaaan untuk dapat memperoleh hak dan kewajibannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori. 2006. Filsafat Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M.
Manullang. 2008. Pengantar ke Filsafat
Hukum, Jakarta: Kencana.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filasafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
O. Notohamidjojo (Tri Budiono, ed.).
2011. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum,
Salatiga: Griya Media.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah. 2007. Ilmu Hukum dan
Filsafat Hukum: Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[1] Lihat Teguh Prasetyo dan Abdul
Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, Pustaka Pelajar, 2007, hal. 39, ‘pertanyaan mengenai apa itu
hukum tampaknya adalah suatu pernyataan yang mendasar dan sangat tergantung
dari konsep pemikiran hukum itu sendiri...’
[2] Darji Darmodiharjo dan Shidarta,
Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 10.
[3] Sebenarnya pendapat dari kedua
ahli hukum ini tidak selalu negatif. Hans Kelsen, misalnya, beliau mengemukakan
Stufenbau Theory, di mana terdapat urutan suatu peraturan (perundang-undangan).
Peraturan-peraturan tersebut dikatakan legal, jika tidak bertentangan terhadap
peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Indonesia sendiri juga memiliki
tingkatan peraturan perundang-undangan (yang menurut penulis mengadopsi dari
Stufenbau Theory ini) yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 sebegaimana telah
diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, Lebih lanjut lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah
Mada University Press, 2006, hal. 42-43 (dengan penambahan sendiri oleh
penulis).
[4] Hal ini pernah dialami Indonesia
di masa Orde Baru, yang mana rezim Soeharto berkuasa cukup lama (1966-1998),
yaitu mengenai konstitusi, UUD 1945. Pada saat itu, UUD 1945 dikultuskan
(diperumpamakan sebagai kitab suci yang tidak pernah diubah), sehingga UUD 1945
sendiri terkesan kaku bahkan tidak menjawab perubahan zaman.
[5] Tokoh aliran utilitarianisme ini
adalah Jeremy Bentham. Beliau mengemukakan bahwa suksesnya proses hukum diukur
dari tercapainya keseimbangan antara kepentingan sosial dan kepentingan individual.
Hal ini timbul sebagai jawaban atas konflik sosial yang timbul dalam masyarakat.
Namun beliau tidak memberikan ukuran yang pasti dan jelas akan keseimbangan
antara kepentingan sosial dan kepentingan individual ini. Lebih lanjut lihat Antonius
Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengatar ke Filsafat Hukum, Kencana
Prenada, 2008, hal. 95-96.
0 komentar:
Posting Komentar