Uraian kasus
Rawa Tripa
- Rawa Tripa
adalah kawasan rawa yang memiliki lahan gambut terletak di Kabupaten Nagan
Raya, sebelah barat daya Provinsi Aceh, dengan luas 61.803 hektar, yang
memiliki berbagai keanekaragaman hayati, seperti orang utan, tumbuh-tumbuhan,
dsb. Rawa Tripa juga berjejeran dengan kawasan Pegunungan Leuser. Rawa Tripa
ini juga termasuk dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi UU
No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan
Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang
memasukkan Rawa Tripa sebagai Kawasan Strategis berfungsi lindung.
-
Atas potensi
lahan yang ada di kawasan Rawa Tripa ini, ada beberapa perusahaan yang tertarik
akan pemanfaatan kawasan lahan Rawa Tripa, yang salah satunya adalah PT Kalista
Alam. PT Kalista Alam sendiri telah mendapat izin usaha dari Gubernur Aceh untuk
menggarap lahan seluas 1.605 hektare tertanggal 25 Agustus 2011. Sementara itu
Badan Pertanahan Nasional juga telah mengeluarkan izin Hak Guna Usaha (HGU) dan
juga izin dari Bupati Nagan Raya yang berlaku selama tiga tahun.
-
Dengan izin-izin
tersebut, PT Kalista Alam pun telah mengoperasionalkan kegiatan perusahaannya,
seperti penanaman dan pengolahan kelapa sawit, pembukaan lahan baru untuk
perluasan kebun, dsb. Tentunya, dengan kegiatan seperti ini, ekosistem yang
berada dalam Rawa Tripa menjadi terganggu, dengan adanya pembakaran hutan
gambut, penebangan pohon, dsb. Akibat alih fungsi lahan untuk berbagai
kepentingan, luas Tripa yang semula 62.000 hektar kini 11.000 hektar. Luas yang
tersisa itu pun terfragmentasi.
-
Tindakan
yang dilakukan oleh PT Kalista Alam ini pun memuculkan reaksi dari WALHI, yang
mana bahwa seperti yang sudah disebutkan, bahwa Kawasan Rawa Tripa merupakan Kawasan
Ekosistem Leuser. Pada tanggal 18 April 2012, Program Konservasi Orangutan
Sumatera (SOCP), Yayasan Ekosistem Leuser, dan Badan Konservasi Sumber Daya
Alam Aceh menyelamatkan orangutan jantan di hutan gambut Rawa Tripa. ”Kami
melihat orangutan ini tiga bulan lalu. Kini, 30 persen berat tubuhnya menyusut.
Bisa mati kelaparan,” ucap Yenny Saraswati dari SOCP. Temuan ini menunjukkan
Rawa Tripa tertekan perkebunan sawit yang masif. Indrianto dari Yayasan
Ekosistem Leuser mengatakan, bila kondisi ini dibiarkan, kian banyak orangutan
ditangkap/dibunuh dan diperdagangkan. Orangutan kelaparan menyerang kebun sawit
untuk memakan pucuk sawit muda. WALHI pun juga telah menggugat (banding) Gubernur
Aceh terkait izin perluasan kebun PT Kalista Alam, yang diputus oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Medan (Putusan Nomor: 89/B/2012/PT.TUN-MDN tertanggal
30 Agustus 2012; catatan bahwa sebelumnya WALHI menggugat pada PTUN Aceh namun pada
tanggal 3 April 2012 gugatan tersebut ditolak) yang intinya memerintahkan
Gubernur Aceh untuk mencabut izin usaha perkebunan budidaya PT Kalista Alam di
Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya (perlu diketahui pula bahwa izin ini
dikeluarkan di tengah instruksi presiden untuk menunda izin baru di hutan/gambut).
-
Selain itu, reaksi
juga datang dari REDD+ (Reduksi Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation, REDD+) adalah sebuah skema global yang memberikan
insentif positif kepada negara berkembang yang mau dan mampu mengurangi emisi
gas-gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan. Pada perjalanannya, selain deforestasi dan
degradasi hutan, REDD+ juga mencakup peran konservasi, pengelolaan hutan
lestari, dan peningkatan cadangan karbon). Pada tanggal 18 April 2012, Ketua
Satgas REDD+ Indonesia, Kuntoro Mangkusubroto membuat surat yang ditujukan
kepada Menteri Kehutanan perihal pembaharuan peta indikatif moratorium PT
Kalista Alam. Surat tersebut menjelaskan tentang kronologi seputar perizinan
dan kedudukan areal PT Kalista Alam dalam peta indikatif moratorium. Kronologis
ini, pada 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh
menerbitkan izin usaha perkebunan sawit kepada PT Kalista Alam seluas 1.605
hektare di Rawa Tripa. Di wilayah ini, sesuai peta Kepmenhut No. 323/2011
tanggal 17 Juni 2011, berada dalam wilayah peta moratorium. Lalu, wilayah PT
Kalista Alam ini tidak termasuk dalam peta indikatif moratorium hasil revisi
berdasarkan Kepmenhut 7416/2011 pada 22 November 2011. Pengeluaran wilayah PT
Kalista Alam berdasarkan data BPN, bahwa terdapat hak guna usaha (HGU) di
lokasi itu. Lalu, surat Kuntoro, menyatakan, Satgas REDD+ menerima pengaduan
dari masyarakat sehubungan dengan kondisi ini.
-
Pada 1-3
April 2012, telaah investigasi lapangan, ditemukan wilayah perluasan perkebunan
sawit PT Kalista Alam 1.605 hektare, belum diterbitkan HGU atas nama perusahaan
itu ataupun perusahaan lain. “PT Kalista Alam memiliki izin lokasi dari Bupati
Nagan Raya, yang berlaku selama tiga tahun dan berakhir 5 Februari 2011.” Surat
ini menyebutkan, temuan Satgas REDD+ diverifikasi kepada BPN pada 12 April
2012. BPN membenarkan temuan ini. Surat itu juga menyampaikan, investigasi
lapangan menunjukkan sebagian lahan PT Kalista Alam sudah ditanami sawit. Ada
yang siap ditanami dan sebagian besar masih hutan. Surat juga menyatakan,
berdasarkan dokumen UKL/UPL (upaya pengelolaan lingkungan-upaya pemantauan
lingkungan) PT Kalista Alam menunjukkan, sebagian besar wilayah ini kawasan
bergambut. “Surat Ketua Satgas REDD+ ini melampirkan peta, foto dan dokumen,”
ucap Elfian dalam pernyataan pers. Surat ini juga meminta kepada Menteri
Kehutanan meneliti masalah sesuai Inpres moratorium dan menetapkan kembali
wilayah PT Kalista Alam masuk peta moratorium.
-
Reaksi balik
muncul dari surat balasan yang dikelurkan oleh Dirjen Planologi Kehutanan.
Dirjen ini yang menandatangi peta indikatif moratorium atas nama Menteri
Kehutanan kala menanggapi surat Ketua Satgas REDD+. Dirjen Planologi Kehutanan
melayangkan surat kepada Kepala BPN pada
4 Mei 2012, dengan tembusan Menteri Kehutanan dan Ketua Satgas REDD+. Dalam
surat ini, Dirjen menyebutkan, 18 November 2011, dilakukan pembahasan final
atas draf peta indikatif moratorium revisi I yang dihadiri UKP4, Kemenhut,
Kementan, Bakosurtanal dan BPN. Hasil pembahasan final pada 22 November 2011,
diterbitkan Kepmenhut 7416/2011 tentang peta indikatif moratorium revisi
pertama.
-
Dalam surat
Dirjen itu dinyatakan, hasil verifikasi kepada BPN tentang perluasan PT Kalista
Alam, ternyata belum diterbitkan HGU. Surat Dirjen menyatakan, ada perbedaan
antara data yang diterima Kemenhut dari BPN saat penyusunan peta indikatif
moratorium revisi pertama, dengan data yang diberikan BPN kepada UKP4. Atas
dasar itu, Dirjen Planologi, meminta klarifikasi ulang terhadap seluruh data
dan informasi terkait perizinan dari BPN dalam peta revisi satu. Terutama
terhadap areal perluasan PT Kalista Alam, sebagai bahan peta indikatif
moratorium revisi dua yang akan terbit Mei ini.
2.
Permasalahan
hukum yang terjadi
-
ketidakjelasan
fungsi dari kawasan lindung, yang mana peralihan penggunaan lahan gambut Rawa
Tripa menjadi perkebunan sawit.
-
Perizinan
yang tidak jelas, di mana terdapat dualisme perizinan yang diterbitkan oleh BPN
dan Gubernur Aceh (padahal Rawa Tripa merupakan daerah yang dimoratorium dengan
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Kehutanan Alam Primer dan Lahan Gambut).
3.
Analisis
hukum
-
Seperti yang
sudah dikemukakan dalam uraian narasi di atas, bahwa Kawasan Rawa Tripa
merupakan kawasan lindung. Mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, dalam pasal 1 yang dimaksudkan dengan kawasan lindung adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup
yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya alam. Kawasan lindung ini juga
harus dicantumkan dalam rencana pola tata ruang (Pasal 17 ayat (3); Pasal 20
ayat (1) huruf c untuk skopa nasional; Pasal 23 ayat (1) huruf c untuk skopa
provinsi; Pasal 26 ayat (1) huruf a untuk skopa kabupaten; Pasal 44 ayat (2)
huruf c untuk skopa perkotaan; Pasal 51 ayat (2) huruf c untuk skopa pedesaan).
Penguatan khusus regulasi mengenai kawasan lindung terdapat dalam Peraturan Pemerintah
No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang mana
dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) bahwa ‘kebijakan pengembangan kawasan lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: (a) pemeliharaan dan
perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan (b) pencegahan dampak
negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup’. Rawa
Tripa, sesuai dengan namanya, adalah kawasan rawa yang semestinya digunakan
dalam rangka penyangga air, karena di kawasan tersebut, menurut Deddy Ratih
dari WALHI, terdapat kubah gambut yang diandalkan fungsi hidrologisnya. Dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf b, dapat menjadikan penjelasan mengapa Rawa Tripa
dimasukkan dalam kawasan berfungsi lindung, yang mana dalam satu wilayah pulau
perlu adanya kawasan hutan berfungsi lindung dengan luas paling sedikit 30% dari
luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya. Dalam hal ini, betapa
penting dan perlunya kawasan lindung dalam suatu wilayah/pulau, sehingga perlu
diperhatikan dan bahkan ditegaskan bahwa Kawasan Rawa Tripa tidak dapat
dialihfungsikan lahannya (gambut) untuk dijadikan lahan kelapa sawit dan
seharusnya PT Kalista Alam bertanggungjawab untuk melakukan reklamasi dan
rehabilitasi lahan yang diekspolasi dan dieksploitasi (Pasal 157 UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh). Sedangkan dalam peraturan lain, seperti
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 150 ayat (1)
disebutkan bahwa ‘Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk
melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk
pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan
secara lestari.’, dan juga
dikuatkan dalam ayat (2) ‘Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah
kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan
ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1).’ Dalam hal ini berarti Pemerintah Aceh telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan pada Pasal 150 ayat (1) dan (2). Perlu juga
catatan bahwa PT Kalista Alam sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit, yang
juga harus berpedoman pada UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dalam Pasal
24 ayat (2), secara tegas menyatakan
bahwa wilayah geografis yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya
dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan. Sementara itu dalam Pasal
25 ayat (1) juga ditegaskan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.
-
Mengenai
perizinan, sebenarnya telah dicantumkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terdapat dalam Pasal 36
sampai dengan Pasal 41. Perlu diperhatikan dalam Pasal 40 yang intinya
menyatakan bahwa setiap orang/badan hukum
yang akan menyelenggarakan usahanya harus mengajukan izin lingkungan
terlebih dahulu, dan atas izin lingkungan ini merupakan persyaratan untuk
mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan. Izin lingkungan ini diterbitkan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya [Pasal 36
ayat (4)]. Ini tidak menjadikan masalah,
karena memang sudah diterbitkan izin dari Gubernur Aceh maupun Bupati Nagan
Raya. Namun, dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Kehutanan Alam Primer dan
Lahan Gambut, yang memberikan moratorium bagi Kawasan Rawa Tripa pula untuk
dialihfungsikan lahannya oleh PT Kalista Alam (dalam lampiran Inpres tersebut
kawasan Rawa Tripa diberi tanda merah yang menandakan bahwa kawasan tersebut
terdiri atas lahan gambut). Artinya bahwa Kawasan Rawa Tripa merupakan kawasan
yang dimoratorium, sehingga sudah seharusnya, Gubernur Aceh dan Bupati Nagan
Raya, termasuk juga dari BPN menunda pemberian izin (termasuk izin perluasan)
kepada PT Kalista Alam.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar