Kamis, 26 Juni 2014


A.    Pendahuluan
Sejak zaman dahulu, laut dikenal sebagai tempat untuk terjadinya kegiatan kelautan. Pemanfaatan laut yang notabene begitu luas, dengan fungsinya sebagai sumber makanan bagi umat manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai sarana untuk penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai tempat untuk bersenang-senang dan rekreasi, dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa[1]. Melihat sejarah pengaturan hukum laut, sebagai bentuk dari hukum laut yang paling dini, pada abad ke-12 telah dikenal berbagai kompilasi dari peraturan-peraturan yang dipakai di laut Eropa[2], sedangkan yang terkenal karena sumbangan pemikiran atas hukum laut adalah Hugo Grotius, yang termuat dalam bukunya yaitu ‘Mare Liberum’ yang terbit pada tahun 1609, di mana pada masa itu pula terjadi konflik antara laut bebas (mare liberum) dengan laut tertutup (mare clausum)[3]. Indonesia sendiri, menurut sejarah, telah membuat pula Kitab Undang-Undang Amana Gappa, yang ditulis dalam bahasa Bugis, yang didalamnya mengandung ketentuan mengenai hukum adat Bugis di bidang pengangkutan laut[4].
 
Selanjutnya, dengan bertambahnya penduduk yang ada di dunia ini, laut memiliki kekayaan alam yang sangat potensial bagi kehidupan manusia, karena jika persediaan bahan pangan yang ada di darat sudah menipis, maka dimungkinkan laut sebagai alternatif terakhir dalam pencarian bahan pangan[5]. Kemudian dari segi perkembangan kelautan, yang diiringi dengan modernisasi teknologi kelautan pada akhir-akhir ini, membuat hukum laut mendapat banyak tantangan, khususnya bagi negara-negara yang wilayahnya diliputi oleh laut, seperti Indonesia yang mendapat julukan sebagai negara maritim. Penulis menjustifikasi hal ini sebagaimana pendapat Frans Likadja dan Daniel F. Bessie (1988: 10-11), mengenai perkembangan teknologi kelautan:
Dilihat dari segi perkembangan teknologi modern tentang penggunaan laut, sudah jelas dapat dilihat bahwa sumber daya apapun yang hendak diperoleh dari laut, senantiasa akan dapat tercapai dengan mudah.
Contoh:
Tentang perikanan: dengan menggunakan teknologi modern, penangkapan terhadap jenis ikan dapat saja diadakan tanpa mengalami kesulitan. Akibatnya, bisa terjadi penangkapan ikan yang berlebihan sehingga mungkin saja akan mengganggu keseimbangan sumber daya hayati di laut.
Sangat disayangkan pula, dengan melihat kutipan pendapat di atas, bahwa perkembangan teknologi modern, khususnya di bidang kelautan membawa dampak negatif bagi penggunaan laut tersebut. Kemudian, dari hal inilah tantangan tersebut muncul sebagai reaksi atas penggunaan dan pemanfaatan laut yang begitu besarnya demi kepentingan umat manusia, khususnya yang akan dibahas dalam makalah ini mengenai bidang zona perikanan tradisional di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam zona perikanan tradisional, umumnya lebih kepada sengketa perbatasan wilayah kelautan antar negara dan illegal fishing. Untuk permasalahan yang saat ini sedang menjadi ‘trend’ adalah illegal fishing, khususnya di Indonesia ini muncul beberapa kasus. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di perbatasan laut yang ada di Indonesia, membuat para nelayan tradisional Indonesia ‘kalah bersaing’ dengan para nelayan asing. Pada salah satu artikel yang dimuat dalam salah satu situs maritim Indonesia[6], berjudul ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan’. Betapa tidak, selama ini, sedikitnya ada seribu kapal asing hilir mudik menangkap ikan secara illegal di Indonesia setiap tahunnya. Perairan yang menjadi sasaran adalah Perairan Natuna, Sulawesi Utara, dan Arafuru, yang mana Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) Fishing sering terjadi[7]. IUU Fishing sendiri juga melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia over fishing. Belum lagi, hal ini ditambah dengan keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh para nelayan tradisional Indonesia, yang juga membuat gigit jari karena ulah para nelayan asing yang begitu bangga dengan teknologi tingginya mampu menangkap ikan tanpa kontrol. Nelayan asing ini berasal dari negara-negara utara Indonesia, diantaranya Vietnam, Thailand, China, dan Malaysia[8]. Parahnya lagi, illegal fishing ini didukung oleh pemerintah dari pelaku tersebut seperti Malaysia[9]. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi kerugian akibat penangkapan ikan ilegal sebesar Rp 11,8 triliun per tahun[10]. Lebih mencengangkan, data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis, potensi kerugian Indonesia akibat pencurian ikan Rp 30 triliun per tahun.
Indonesia, dalam hal ini sebenarnya sudah memiliki perangkat ketentuan yang mengatur mengenai zona perikanan tradisional, yang dapat dikatakan lebih modern dari Amana Gappa yang sudah diuraikan di atas. Dari zaman Belanda, sudah dibentuk peraturan mengenai ketentuan perairan, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Staatblad tahun 1939 No. 442) yang terdapat pengaturan mengenai kegiatan perikanan pantai[11]. Ketentuan ini merupakan perintis pengaturan hukum laut Indonesia hingga pada tanggal 31 Desember 1957, Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi mengenai wilayah perairan Indonesia. Selang tiga tahun, pada saat menjelang Konferensi Hukum Laut Jenewa 1960, Indonesia sudah menetapkan Undang-Undang No. 4/Prp 1960 tentang Perairan Indonesia. Kemudian, mengenai peraturan yang lebih khusus terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan yang terakhir dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Namun, untuk saat ini, seluruh ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perikanan tersebut digantikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Sebelum membahas mengenai zona perikanan tradisional, maka akan diberikan definisi terlebih dahulu mengenai zona perikanan tradisional. Perikanan, sebagaimana menurut Pasal 1 huruf (a) Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pegolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Maka, menurut Penulis, yang dimaksudkan dengan zona perikanan tradisional adalah wilayah/tempat di mana terjadinya kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang mana kegiatan tersebut masih menerapkan cara-cara tradisional, seperti pada penggunaan peralatan penangkapan ikan dan cara penangkapan ikan. Hal ini merujuk pula pada nelayan-nelayan (fishermen) tradisional, yang notabene masih ada dan eksis hingga saat ini, khususnya di wilayah pantai Indonesia. Zona perikanan tradisional juga tidak lepas dari 1945 Truman Proclamation on Fishing Jurisdiction and the Continental Shelf, yang menghasilkan beberapa konsep mengenai hukum laut modern, yaitu (1) the Continental Shelf; (2) fishing conservative zone; (3) exclusive economic zone; (4) regime of archipelagoes; (5) regime of straits used for international navigation; dan (6) seabed regime[12].
B.     Pembahasan dan Analisis
Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state), yang mana sudah dideklarasikan oleh Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Saat ini, menurut estimasi yang didasarkan dari survei dan verifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah pulau di Indonesia diperkirakan mencapai 13.466 pulau. Dengan adanya Wawasan Nusantara yang dahulu dicanangkan oleh pemerintah, maka direalisasikan dalam wujud Konsepsi Negara Kepulauan yang tertuang dalam UU No. 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia[13]. Namun begitu, Indonesia juga merupakan negara maritim, karena wilayahnya kurang lebih 70% terdiri atas perairan. Dengan wilayah perairan yang luas ini, potensi kelautan yang ada di dalam wilayah laut Indonesia sangatlah besar, terutama dari sektor perikanan. Selama ini, sektor perikanan merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, yang mana potensi ekonomi laut Indonesia diperkirakan sekitar 1,2 triliun dollar Amerika Serikat per tahun atau setara dengan sepuluh kali APBN[14].
Melihat potensi kelautan Indonesia yang sangat besar tersebut, maka kemungkinan untuk terjadinya dampak negatif dapat dipastikan ada. Problem utama dari sektor perikanan, yang saat ini sedang maraknya terjadi adalah illegal fishing. Penangkapan ikan secara illegal (illegal fishing), memiliki dampak serius bagi Indonesia, yang lebih merupakan ancaman bagi kedaulatan negeri ini dan juga bagi para nelayan kita. Betapa tidak, nelayan yang ada di Indonesia ini masih menggunakan peralatan untuk menangkap ikan yang dapat dikatakan masih sangat tradisional[15], seperti jaring, dan lain sebagainya. Banyak kasus yang menggambarkan illegal fishing yang terjadi di tanah air ini, yang mana sudah diuraikan dalam pendahuluan di atas.
Indonesia, dalam hal wilayah perikanan, menurut ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memiliki 3 zona, yaitu Perairan Indonesia; Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; dan beberapa tempat lainnya seperti sungai, danau, waduk, rawa, genangan air, serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Mengenai ketentuan yang wajib dipatuhi dalam pengelolaan perikanan terdapat dalam pasal 7 ayat (2). Dalam pasal 8 dan 9, terdapat larangan-larangan yang wajib dihindari bagi setiap orang yang melakukan pengelolaan perikanan. Namun, kalau dilihat lebih lanjut, pengaturan secara eksplisit mengenai illegal fishing tidak ditemukan, tetapi hanya terdapat pengawasan perikanan dalam rangka pencegahan pelanggaran wilayah pengelolaan perikanan (dalam BAB XII) serta beberapa ketentuan pidana dalam rangka penanggulangan illegal fishing yang sudah terjadi. Namun begitu, dari banyaknya ketentuan, khususnya ketentuan pidana, pada aplikasinya, para pelaku dari illegal fishing hanya dihukum ringan dan ini merupakan ketidak tegasan aparat dalam penanganan para pelaku illegal fishing tersebut[16]. 
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, juga dipandang kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Sebab, Sebab, pada Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 memang ada celah yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)[17]. Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional[18]. Hal ini berarti bahwa kedaulatan negara Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara maritim dipertaruhkan di Zona Ekonomi Eksklusif.
Penyelesaian permasalahan illegal fishing telah diupayakan pemerintah Indonesia, seperti keikutsertaan Indonesia pada Deklarasi Paracas, yang merupakan hasil pertemuan para Menteri Kelautan APEC (Asia-Pacific Economic Development), yang diadakan di Paracas, Peru, pada tanggal 12 Oktober 2010. Beberapa perjanjian pun juga telah disepakati oleh Indonesia dengan negara-negara lain dalam hal perikanan, diantaranya dengan Jepang (dalam rangka penangkapan ikan tuna jarak jauh untuk wilayah Laut Banda tahun 1968 yang diperbarui dengan profit sharing Arrangement between Indonesian State Fisheries Enterprise and the Japan Fishing and Tuna Associations tahun 1975), Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Australia[19]. Dengan adanya perjanjian ini bukan serta merta dalam penegakan hukumnya berjalan ‘mulus’, namun masih ada beberapa permasalahan yang juga timbul, seperti mengutip pendapat Hasjim Djalal (1995:167):
Enforcement of these arrangements had not been easy. First some fishing vessels themselves were reluctant to report to the Indonesia naval authority in Ambon after completing their fishing activities. Second, the area of fishing was too large for the limited number of Indonesian patrol facilities to effectively supervise, resulting in many violations committed unnoticed. Third, the Indonesian law enforcement capabilities themselves were extremely limited either in number, equipment, or other fasilities. The emphasis on economics in the Indonesian development program within the last two Fifth-Year Development Plans has failed to strengthen or improve Indonesian surveillance capabilities for law enforcement at sea. Fourth, while there was inadequacy in the capability and the efficiency of the law enforcement agencies at sea, the procedures involving judicial solution for any violators caught also required improvement, particulary in speed. Finally, coordination among the various law enforcement agencies at sea was poor.
Dengan melihat pernyataan di atas, dapat dianalisis bahwa terdapat dua faktor penyebab permasalahan perikanan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, sangat mendominasi permasalahan perikanan di Indonesia, yaitu (1) area penangkapan ikan yang begitu luas yang tidak diimbangi dengan jumlah patroli laut Indonesia yang menghasilkan beberapa pelanggaran; (2) terbatasnya kemampuan penegakkan hukum Indonesia, dalam jumlah, kelengkapan, dan fasilitas lainnya; (3) ketika ada kekurangan dalam kemampuan dan efisiensi pada agen-agen penegakkan hukum laut, prosedur yang menyertai solusi hukum kepada beberapa pelanggar juga membutuhkan peningkatan, terutama dalam proses berperkara, sedangkan faktor eksternal hanya kurangnya pelaporan atas berakhirnya penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, khususnya dalam kutipan di atas terdapat di Ambon. Belum lagi, dengan adanya perjanjian-perjanjian ini dilatarbelakangi faktor lain, seperti politik belaka yang sebenarnya tidak menguntungkan bagi Indonesia[20].
Perlu diperhatikan pula, bahwa ketentuan internasional  mengenai penangkapan ikan, selain di zona perikanan tradisional, yaitu di laut lepas. Laut lepas, seperti yang dikemukakan olah Hugo Grotius, bahwa kebebasan laut lepas bukan hanya terbatas kepada beberapa negara saja, melainkan bagi semua negara di dunia dan mereka boleh memanfaatkan laut lepas untuk berbagai tujuan, antara lain untuk navigasi, perikanan, eksplorasi dan penelitian ilmiah juga mengadaka eksplorasi terhadap sumber hayati laut[21]. Hal ini ditegaskan pula dalam United Convention on the Law of the Sea tahun 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS 1982), dalam Article 87, di mana laut lepas terbuka bagi seluruh negara, baik negara pantai, negara tertutup, untuk: (1) kebebasan navigasi; (2) kebebasan terbang; (3) kebebasan untuk menanam kabel dan pipa bawah laut; (4) kebebasan untuk membangun pulau-pulau buatan dan kelengkapan lainnya; (5) kebebasan untuk penelitian ilmiah.  Pernah dalam suatu pemberitaan disebutkan bahwa nelayan Indonesia (ataupun nelayan asing), berlayar menangkap ikan hingga sampai ke laut lepas, bahkan mendekati jurisdiksi teritorial suatu negara (biasanya pada laut teritorial atau ZEE negara setempat)[22]. Pengawasan yang minim, dengan jumlah armada patroli kelautan dan fasilitas yang kurang memadai, memicu pula ketidaksengajaan illegal fishing. Namun, sebagai negara kepulauan (archipelagic states), Indonesia hanya mengakui adanya hak-hak penangkapan ikan tradisional (traditional fishing rights)[23]. Jadi, Indonesia sendiri, harus menjaga supaya para nelayan harus berada dalam wilayah penangkapan ikan yang sudah ditetapkan, sehingga nantinya tidak ‘keluar jalur’.  
Sengketa kedaulatan negara, yang sebenarnya untuk saat ini minim terjadi, namun kemungkinan dapat timbul. Perbatasan negara yang kurang jelas, dengan tidak adanya perjanjian perbatasan antar negara-negara tersebut, merupakan faktor utama pemicu sengketa kedaulatan negara, yang mana hal ini sangat mempengaruhi zona perikanan tradisional. Ambil contoh semisal Indonesia, yang belum menetapkan secara sah batas wilayah perairan dengan Australia dan Timor Leste. Indonesia dengan Australia belum menetapkan perjanjian perbatasan perairan, yang ada hanya perjanjian pemanfaatan laut Arafura, sedangkan Indonesia dengan Timor Leste, yang notabene negara yang baru merdeka, juga sulit untuk menetapkan batas-batas maritim antar kedua negara tersebut. Padahal dengan melihat ketentuan mengenai UNCLOS 1982, untuk mengatasi masalah sengketa kedaulatan negara ini, diperlukan perjanjian atau penghitungan lain sepanjang memenuhi ketentuan hukum laut internasional[24].
C.     Saran dan rekomendasi
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki kurang lebih 13.000 pulau dan negara maritim yang berada di Kawasan Pasifik, yang memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 2,7 juta km2. Sebagai konsekuensi negara kepulauan dan negara maritim, problematika yang ‘menghiasi’ kelautan ini selalu muncul dan terus bergulir seiring dengan berkembangnya zaman. Zona perikanan tradisional, yang selama ini menjadi salah satu pendukung perekonomian nasional, juga tidak luput dari permasalahan yang kompleks, seperti illegal fishing, yang sudah diuraikan di atas. Oleh karena itu, hal ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat selain kerugian material yang diderita, pula kedaulatan negara menjadi taruhannya.
Menurut penulis, ada beberapa hal yang menjadi penting untuk dijadikan saran, yaitu:
a.       Merancang dan menetapkan UU Anti Illegal Fishing, karena selama ini UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan belum mampu menjawab persoalan dalam aspek-aspek perikanan, khususnya illegal fishing yang kian merajalela;
b.      Pembentukan peradilan perikanan yang efektif, yang berwenang menentukan, menyelidiki, dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih;
c.       Memperketat pengawasan pada daerah-daerah tertentu, khususnya wilayah perbatasan, semisal pada Zona Ekonomi Eksklusif, perairan dalam (internal waters), laut teritorial, agar lalu lintas nelayan, khususnya nelayan asing dapat dipantau;
d.      Memperketat pemberian izin atas nelayan asing dalam rangka penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, yang kemudian diikuti dengan pembatasan jumlah penangkapan ikan;
e.       Pembangunan sarana dan prasarana perairan yang memadai dan modern, khususnya di wilayah pantai dan perairan perbatasan;
f.       Membantu kesulitan finansial keuangan nelayan tradisional dengan pinjaman ringan, sehingga mereka tidak tersaingi dengan nelayan asing dalam mencari dan menangkap ikan.




















DAFTAR PUSTAKA

Chairul Anwar. 1989. Hukum Internasinal Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Frans E. Likadja dan Daniel F. Bessie. 1988. Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hasjim Djalal. 1995. Indonesia and the Law of the Sea, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Malanczuk, Peter. 1997. Akehurt’s Modern Introduction to International Law, New York: Routledge.
Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Hukum Laut Internasional, Jakarta: Penerbit Binacipta.         
N. Shaw, Malcolm. 2003. International Law, Cambrigde: Cambrigde University Press.
St. Munadjat Danusaputro.1982. Wawasan Nusantara (dalam Hukum Laut Internasional), Bandung: Alumni.


[1] Frans E. Likadja dan Daniel F. Bessie, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 21.

[2] Kompilasi-kompilasi ini diantaranya di Laut Tengah yaitu Lex Rhodia atau Hukum Laut Rhodia (pada abad ketujuh); tahun 1494 dibuat koleksi hukum maritim, Consolato del Mare (Konsulat dari Lautan); Himpunan Rolles d’Oleron dalam bahasa Perancis Kuno, merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik; Sea Code of Whisby, yang ditetapkan untuk Eropa Utara, lihat Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta, 1989, hal.1.

[3] Konflik ini terjadi antara Belanda dengan Inggris, di mana terjadi penutupan laut-laut tertentu untuk pelayaran, yang sebenarnya ditujukan kepada Spanyol dan Portugis. Namun reaksi dari Inggris, khususnya dari kalangan penulis buku-buku, seperti Welwood dan Shelden, hingga Raja James I mengeluarkan larangan bagi Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris, lebih lanjut lihat Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Jakarta, 1978, hal. 12-13.

[4] Perlu diketahui bahwa nenek moyang bagsa Indonesia, sejak zaman dahulu sudah berani mengarungi samudra yang begitu luasnya, termasuk pula yang terkenal dari Bugis. Kerajaan-kerajaan Bugis, khususnya para pelautnya mengarungi samudra hingga ke pantai Madagaskar barat. Untuk Kitab Undang-Undang Amana Gappa ini telah di bahas oleh Carron, dalam disertasi yang berjudul ‘Het Handels en Zeerecht in Adatrechtsregelen van de Rechts kring Zuid Celebes’ untuk mendapatkan gelar Doktor pada Universitas Leyden tahun 1937, lihat Ibid, hal 1.

[5] Pendapat ini penulis kutip dengan mengolah kata sendiri dari Frans E. Likadja dan Daniel F. Bessie, op. cit, hal. 10.
[6] Penulis mengambil pernyataan ini dari situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798, yang diakses pada 8 Maret 2013, pukul 0814 WIB.
[7] Pernyataan ini mengutip pendapat dari Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, yang diambil dalam artikel ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan’, dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798.

[8] Pernyataan ini mengutip dari artikel ‘Nelayan di Perbatasan Terlindas Nelayan Asing’ yang diambil dari situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798.

[9] Pernyataan ini mengutip dari Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), M Riza Damanik, yang diambil dalam artikel ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan’, dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798.

[10] Pernyataan ini Penulis kutip dari artikel ‘Nelayan di Perbatasan Terlindas Nelayan Asing’, dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798

[11] Lihat Frans E. Likadja dan Daniel E. Bessie, op. cit, hal. 36.

[12] Hasjim Djalal, Law of the Sea and Ocean Development Issues for the Pacific Region, dalam Indonesia and the Law of the Sea, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 1995, hal. 71.

[13] Ciri khusus negara kepulauan Indonesia yang dapat diamati adalah bahwa posisi geografis Indonesia diapit antara dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) dan dua samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik). Kekhususan ini tentunya membedakan Indonesia dengan negara-negara kepulauan lainnya, seperti Phlilipina, Fiji, Nauru, dan lain-lain. Oleh karena itu, Indonesia ada kalanya disebut juga ‘Kenusaan’, yang memiliki posisi geografis ‘Antara’, sehingga dinamakan NUSANTARA. Lebih lanjut lihat St. Munadjat Danusaputro, Wawasan Nusantara (dalam hukum Laut Internasional), Alumni, Bandung, 1982, hal. 18-19 (perlu dicatat bahwa ketentuan ini sudah digantikan dengan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). 

[14] Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, dalam bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/24/13283219/Potensi.Laut.Indonesia.1.2.Triliun.AS, 24 Oktober 2012.

[15] Menurut Penulis, walaupun seperti itu, ada juga sebagian nelayan yang menggunakan peralatan modern, walau penggunanya masih sedikit, akan tetapi mayoritas masih menggunakan peralatan tradisional.

[16] Pernyataan ini mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI), Y Pangoanan, dalam artikel ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan’, diakses pada situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798 pada tanggal 8 Maret 2013 pukul 08.35 WIB.
[17] Pengaturan mengenai permasalahan perikanan di ZEE, menurut pengaturan internasional, ini sudah tercantum dalam UNCLOS III tahun 1982. Aturan ini berlaku bagi negara berpantai dan negara lainnya, termasuk Indonesia. Konvensi baru ini menetapkan aturan untuk perlindungan dan pemanfaatan dari sumber-sumber perikanan dalam Zona Ekonomi Eksklusif serta hak-hak dan kewajiban negara pantai dalam kaitan dengan sumber-sumber hayati tersebut, lebih lanjut lihat Chairul Anwar, op. cit, hal. 87.

[18] Pendapat (dalam satu paragraf) ini mengutip dari artikel ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan’, dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798

[19] Lihat Hasjim Djalal, Implementation of Agreements with Foreigners, dalam... op. cit, hal. 151-167.

[20] Lihat Ibid, hal. 167, ‘the terms of interim as well as profit sharing arrangements were not really profitable to Indonesia... The arrangements concluded in past have had many political overtones

[21] Frans E. Likadja dan Daniel F. Bessie, op. cit, hal. 9.
[22] Perlu menjadi catatan bahwa kebebasan yang dilekatkan pada laut lepas, bukan berarti laut lepas dapat digunakan tanpa kontrol. Hal ini dikarenakan bahwa ada sebagian negara yang mengklaim dalam hal pembatasan tertentu yang juga berada dalam ZEE, Zona Perikanan Eksklusif, dan zona tambahan, sehingga perlu menjadi perhatian bagi nelayan yang ingin menegkap ikan di laut lepas. Lihat Peter Malanzscuk, Akehurt’s Modern Introduction to International Law, Routledge, New York, 1997, hal. 184-185, ‘freedom of the high seas comprises, inter alia, freedom of navigation, freedom of fishing, freedom to lay submarine cables and pipelines, and freedom to fly over the high seas. (Some of these freedoms are limited where a coastal state claims an exclusive fishery zone, an exclusive economic zone, or a contiguous zone.’

[23] Perlu diperhatikan bahwa negara kepulauan hanya mengakui hak-hak penangkapan ikan tradisional (traditional fishing rights), bukan hak-hak tradisional untuk penangkapan ikan (traditional rights to fish). Ada perbedaan antara 2 kata ini, di mana hak-hak penangkapan ikan secara tradisional berarti bahwa aktivitas penangkapan ikan harus sudah dilaksanakan sebelumnya, sedangkan hak-hak tradisional penangkapan ikan berarti hak umum untuk menangkap ikan di laut lepas yang berada di bawah hukum yang mana dapat diterapkan kepada setiap orang, baik menangkap ikan di wilayah tersebut atau tidak. Lihat Hasjim Djalal, Evolution in the Law of the Sea: from High Seas Regime to Exclusive Economic Zone to Cooperation, dalam... op. cit, hal. 259-260.
[24] Hal ini dimuat dalam UNCLOS 1982, pada Article 15, yang merujuk pada Article 12 Geneva Convention on Territorial Sea 1958, yang memuat ketentuan tentang pembatas laut teritorial antara negara-negara yang berhadap-hadapan atau yang memiliki pantai yang berdekatan, lebih lanjut lihat Malcolm N. Shaw, International Law, Cambrigde University Press, Cambrigde, 2003, hal. 506, ‘Article 15 of the 1982 Convention, following basically article 12 of the Geneva Convention on the Territorial Sea, 1958, provides that where no agreement has been reached, neither state may extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest point on the baselines from which the territorial sea is measured. This provision, however, does not apply where it is necessary by reason of historic title or other special circumstances to delimit the territorial sea of the two states in a different way’

0 komentar:

Posting Komentar