A.
Pendahuluan
Sejak zaman dahulu, laut dikenal sebagai tempat untuk
terjadinya kegiatan kelautan. Pemanfaatan laut yang notabene begitu luas,
dengan fungsinya sebagai sumber makanan bagi umat manusia, sebagai jalan raya
perdagangan, sebagai sarana untuk penaklukan, sebagai tempat pertempuran,
sebagai tempat untuk bersenang-senang dan rekreasi, dan sebagai alat pemisah
atau pemersatu bangsa[1]. Melihat
sejarah pengaturan hukum laut, sebagai bentuk dari hukum laut yang paling dini,
pada abad ke-12 telah dikenal berbagai kompilasi dari peraturan-peraturan yang
dipakai di laut Eropa[2], sedangkan
yang terkenal karena sumbangan pemikiran atas hukum laut adalah Hugo Grotius,
yang termuat dalam bukunya yaitu ‘Mare
Liberum’ yang terbit pada tahun 1609, di mana pada masa itu pula terjadi
konflik antara laut bebas (mare liberum)
dengan laut tertutup (mare clausum)[3]. Indonesia
sendiri, menurut sejarah, telah membuat pula Kitab Undang-Undang Amana Gappa,
yang ditulis dalam bahasa Bugis, yang didalamnya mengandung ketentuan mengenai
hukum adat Bugis di bidang pengangkutan laut[4].
Selanjutnya, dengan bertambahnya penduduk yang ada di
dunia ini, laut memiliki kekayaan alam yang sangat potensial bagi kehidupan
manusia, karena jika persediaan bahan pangan yang ada di darat sudah menipis,
maka dimungkinkan laut sebagai alternatif terakhir dalam pencarian bahan pangan[5]. Kemudian
dari segi perkembangan kelautan, yang diiringi dengan modernisasi teknologi
kelautan pada akhir-akhir ini, membuat hukum laut mendapat banyak tantangan,
khususnya bagi negara-negara yang wilayahnya diliputi oleh laut, seperti
Indonesia yang mendapat julukan sebagai negara maritim. Penulis menjustifikasi hal
ini sebagaimana pendapat Frans Likadja dan Daniel F. Bessie (1988: 10-11),
mengenai perkembangan teknologi kelautan:
Dilihat dari segi perkembangan teknologi modern tentang penggunaan laut,
sudah jelas dapat dilihat bahwa sumber daya apapun yang hendak diperoleh dari
laut, senantiasa akan dapat tercapai dengan mudah.
Contoh:
Tentang perikanan: dengan menggunakan teknologi modern, penangkapan
terhadap jenis ikan dapat saja diadakan tanpa mengalami kesulitan. Akibatnya,
bisa terjadi penangkapan ikan yang berlebihan sehingga mungkin saja akan
mengganggu keseimbangan sumber daya hayati di laut.
Sangat disayangkan pula, dengan melihat kutipan pendapat
di atas, bahwa perkembangan teknologi modern, khususnya di bidang kelautan
membawa dampak negatif bagi penggunaan laut tersebut. Kemudian, dari hal inilah
tantangan tersebut muncul sebagai reaksi atas penggunaan dan pemanfaatan laut
yang begitu besarnya demi kepentingan umat manusia, khususnya yang akan dibahas
dalam makalah ini mengenai bidang zona perikanan tradisional di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam zona
perikanan tradisional, umumnya lebih kepada sengketa perbatasan wilayah
kelautan antar negara dan illegal fishing.
Untuk permasalahan yang saat ini sedang menjadi ‘trend’ adalah illegal fishing, khususnya di Indonesia
ini muncul beberapa kasus. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di perbatasan
laut yang ada di Indonesia, membuat para nelayan tradisional Indonesia ‘kalah
bersaing’ dengan para nelayan asing. Pada salah satu artikel yang dimuat dalam
salah satu situs maritim Indonesia[6],
berjudul ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan’. Betapa tidak, selama ini, sedikitnya
ada seribu kapal asing hilir mudik menangkap ikan secara illegal di Indonesia
setiap tahunnya. Perairan yang menjadi sasaran adalah Perairan Natuna, Sulawesi
Utara, dan Arafuru, yang mana Illegal,
Unregulated, and Unreported (IUU) Fishing sering terjadi[7]. IUU Fishing sendiri juga melemahkan
pengelolaan sumber daya perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia over fishing. Belum lagi,
hal ini ditambah dengan keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh para nelayan
tradisional Indonesia, yang juga membuat gigit
jari karena ulah para nelayan asing yang begitu bangga dengan teknologi tingginya
mampu menangkap ikan tanpa kontrol. Nelayan asing ini berasal dari
negara-negara utara Indonesia, diantaranya Vietnam, Thailand, China, dan
Malaysia[8].
Parahnya lagi, illegal fishing ini
didukung oleh pemerintah dari pelaku tersebut seperti Malaysia[9]. Berdasarkan
data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi kerugian akibat
penangkapan ikan ilegal sebesar Rp 11,8 triliun per tahun[10].
Lebih mencengangkan, data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis,
potensi kerugian Indonesia akibat pencurian ikan Rp 30 triliun per tahun.
Indonesia, dalam hal ini sebenarnya sudah memiliki
perangkat ketentuan yang mengatur mengenai zona perikanan tradisional, yang
dapat dikatakan lebih modern dari Amana Gappa yang sudah diuraikan di atas. Dari
zaman Belanda, sudah dibentuk peraturan mengenai ketentuan perairan, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonantie (Staatblad tahun 1939
No. 442) yang terdapat pengaturan mengenai kegiatan perikanan pantai[11].
Ketentuan ini merupakan perintis pengaturan hukum laut Indonesia hingga pada tanggal
31 Desember 1957, Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi mengenai wilayah
perairan Indonesia. Selang tiga tahun, pada saat menjelang Konferensi Hukum
Laut Jenewa 1960, Indonesia sudah menetapkan Undang-Undang No. 4/Prp 1960
tentang Perairan Indonesia. Kemudian, mengenai peraturan yang lebih khusus terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hayati di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan yang terakhir dalam Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang Perikanan. Namun, untuk saat ini, seluruh ketentuan
perundang-undangan yang mengatur tentang perikanan tersebut digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Sebelum membahas mengenai zona perikanan tradisional,
maka akan diberikan definisi terlebih dahulu mengenai zona perikanan
tradisional. Perikanan, sebagaimana menurut Pasal 1 huruf (a) Undang-undang No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan, adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pegolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam
suatu sistem bisnis perikanan. Maka, menurut Penulis, yang dimaksudkan dengan
zona perikanan tradisional adalah wilayah/tempat di mana terjadinya kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang mana kegiatan tersebut masih
menerapkan cara-cara tradisional, seperti pada penggunaan peralatan penangkapan
ikan dan cara penangkapan ikan. Hal ini merujuk pula pada nelayan-nelayan (fishermen) tradisional, yang notabene
masih ada dan eksis hingga saat ini, khususnya di wilayah pantai Indonesia.
Zona perikanan tradisional juga tidak lepas dari 1945 Truman Proclamation on Fishing Jurisdiction and the Continental
Shelf, yang menghasilkan beberapa konsep mengenai hukum laut modern, yaitu (1)
the Continental Shelf; (2) fishing conservative zone; (3) exclusive economic zone; (4) regime of archipelagoes; (5) regime of straits used for international navigation;
dan (6) seabed regime[12].
B.
Pembahasan dan
Analisis
Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state), yang mana sudah dideklarasikan oleh Deklarasi
Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Saat ini, menurut estimasi yang
didasarkan dari survei dan verifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan,
jumlah pulau di Indonesia diperkirakan mencapai 13.466 pulau. Dengan adanya
Wawasan Nusantara yang dahulu dicanangkan oleh pemerintah, maka direalisasikan
dalam wujud Konsepsi Negara Kepulauan yang tertuang dalam UU No. 4/Prp. 1960
tentang Perairan Indonesia[13]. Namun
begitu, Indonesia juga merupakan negara maritim, karena wilayahnya kurang lebih
70% terdiri atas perairan. Dengan wilayah perairan yang luas ini, potensi
kelautan yang ada di dalam wilayah laut Indonesia sangatlah besar, terutama
dari sektor perikanan. Selama ini, sektor perikanan merupakan salah satu tulang
punggung perekonomian Indonesia, yang mana potensi ekonomi laut Indonesia
diperkirakan sekitar 1,2 triliun dollar Amerika Serikat per tahun atau setara
dengan sepuluh kali APBN[14].
Melihat potensi kelautan Indonesia yang sangat besar
tersebut, maka kemungkinan untuk terjadinya dampak negatif dapat dipastikan ada.
Problem utama dari sektor perikanan, yang saat ini sedang maraknya terjadi
adalah illegal fishing. Penangkapan
ikan secara illegal (illegal fishing),
memiliki dampak serius bagi Indonesia, yang lebih merupakan ancaman bagi
kedaulatan negeri ini dan juga bagi para nelayan kita. Betapa tidak, nelayan
yang ada di Indonesia ini masih menggunakan peralatan untuk menangkap ikan yang
dapat dikatakan masih sangat tradisional[15],
seperti jaring, dan lain sebagainya. Banyak kasus yang menggambarkan illegal fishing yang terjadi di tanah
air ini, yang mana sudah diuraikan dalam pendahuluan di atas.
Indonesia, dalam hal wilayah perikanan, menurut ketentuan
dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memiliki
3 zona, yaitu Perairan Indonesia; Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; dan beberapa
tempat lainnya seperti sungai, danau, waduk, rawa, genangan air, serta lahan
pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Mengenai
ketentuan yang wajib dipatuhi dalam pengelolaan perikanan terdapat dalam pasal
7 ayat (2). Dalam pasal 8 dan 9, terdapat larangan-larangan yang wajib
dihindari bagi setiap orang yang melakukan pengelolaan perikanan. Namun, kalau
dilihat lebih lanjut, pengaturan secara eksplisit mengenai illegal fishing tidak ditemukan, tetapi hanya terdapat pengawasan
perikanan dalam rangka pencegahan pelanggaran wilayah pengelolaan perikanan (dalam
BAB XII) serta beberapa ketentuan pidana dalam rangka penanggulangan illegal fishing yang sudah terjadi. Namun
begitu, dari banyaknya ketentuan, khususnya ketentuan pidana, pada aplikasinya,
para pelaku dari illegal fishing
hanya dihukum ringan dan ini merupakan ketidak tegasan aparat dalam penanganan
para pelaku illegal fishing tersebut[16].
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, juga
dipandang kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap
pengelolaan sumber daya laut. Sebab, Sebab, pada
Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 memang ada celah yang memungkinkan
nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya
perikanan Indonesia, khususnya
di Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE)[17]. Pada pasal 29 ayat (1),
misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan,
hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan
ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia
berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional[18]. Hal ini berarti bahwa kedaulatan negara Indonesia
sebagai negara kepulauan dan negara maritim dipertaruhkan di Zona Ekonomi
Eksklusif.
Penyelesaian permasalahan illegal fishing telah diupayakan pemerintah Indonesia, seperti keikutsertaan
Indonesia pada Deklarasi Paracas, yang merupakan hasil pertemuan para Menteri
Kelautan APEC (Asia-Pacific Economic Development),
yang diadakan di Paracas, Peru, pada tanggal 12 Oktober 2010. Beberapa
perjanjian pun juga telah disepakati oleh Indonesia dengan negara-negara lain
dalam hal perikanan, diantaranya dengan Jepang (dalam rangka penangkapan ikan tuna
jarak jauh untuk wilayah Laut Banda tahun 1968 yang diperbarui dengan profit sharing Arrangement between Indonesian State Fisheries Enterprise and the Japan
Fishing and Tuna Associations tahun 1975), Korea Selatan, Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Australia[19].
Dengan adanya perjanjian ini bukan serta merta dalam penegakan hukumnya
berjalan ‘mulus’, namun masih ada beberapa permasalahan yang juga timbul, seperti
mengutip pendapat Hasjim Djalal (1995:167):
Enforcement of these arrangements had not been easy.
First some fishing vessels themselves were reluctant to report to the Indonesia
naval authority in Ambon after completing their fishing activities. Second, the
area of fishing was too large for the limited number of Indonesian patrol
facilities to effectively supervise, resulting in many violations committed
unnoticed. Third, the Indonesian law enforcement capabilities themselves were
extremely limited either in number, equipment, or other fasilities. The
emphasis on economics in the Indonesian development program within the last two
Fifth-Year Development Plans has failed to strengthen or improve Indonesian
surveillance capabilities for law enforcement at sea. Fourth, while there was
inadequacy in the capability and the efficiency of the law enforcement agencies
at sea, the procedures involving judicial solution for any violators caught
also required improvement, particulary in speed. Finally, coordination among
the various law enforcement agencies at sea was poor.
Dengan melihat pernyataan di atas, dapat dianalisis bahwa
terdapat dua faktor penyebab permasalahan perikanan, yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal, sangat mendominasi permasalahan perikanan di
Indonesia, yaitu (1) area penangkapan ikan yang begitu luas yang tidak
diimbangi dengan jumlah patroli laut Indonesia yang menghasilkan beberapa
pelanggaran; (2) terbatasnya kemampuan penegakkan hukum Indonesia, dalam
jumlah, kelengkapan, dan fasilitas lainnya; (3) ketika ada kekurangan dalam
kemampuan dan efisiensi pada agen-agen penegakkan hukum laut, prosedur yang
menyertai solusi hukum kepada beberapa pelanggar juga membutuhkan peningkatan,
terutama dalam proses berperkara, sedangkan faktor eksternal hanya kurangnya
pelaporan atas berakhirnya penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia,
khususnya dalam kutipan di atas terdapat di Ambon. Belum lagi, dengan adanya
perjanjian-perjanjian ini dilatarbelakangi faktor lain, seperti politik belaka
yang sebenarnya tidak menguntungkan bagi Indonesia[20].
Perlu diperhatikan pula, bahwa ketentuan internasional mengenai penangkapan ikan, selain di zona
perikanan tradisional, yaitu di laut lepas. Laut lepas, seperti yang
dikemukakan olah Hugo Grotius, bahwa kebebasan laut lepas bukan hanya terbatas
kepada beberapa negara saja, melainkan bagi semua negara di dunia dan mereka
boleh memanfaatkan laut lepas untuk berbagai tujuan, antara lain untuk navigasi,
perikanan, eksplorasi dan penelitian ilmiah juga mengadaka eksplorasi terhadap
sumber hayati laut[21]. Hal
ini ditegaskan pula dalam United
Convention on the Law of the Sea tahun 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS
1982), dalam Article 87, di mana laut lepas terbuka bagi seluruh negara, baik
negara pantai, negara tertutup, untuk: (1) kebebasan navigasi; (2) kebebasan
terbang; (3) kebebasan untuk menanam kabel dan pipa bawah laut; (4) kebebasan
untuk membangun pulau-pulau buatan dan kelengkapan lainnya; (5) kebebasan untuk
penelitian ilmiah. Pernah dalam suatu pemberitaan
disebutkan bahwa nelayan Indonesia (ataupun nelayan asing), berlayar menangkap
ikan hingga sampai ke laut lepas, bahkan mendekati jurisdiksi teritorial suatu
negara (biasanya pada laut teritorial atau ZEE negara setempat)[22].
Pengawasan yang minim, dengan jumlah armada patroli kelautan dan fasilitas yang
kurang memadai, memicu pula ketidaksengajaan illegal fishing. Namun, sebagai negara kepulauan (archipelagic states), Indonesia hanya mengakui
adanya hak-hak penangkapan ikan tradisional (traditional fishing rights)[23].
Jadi, Indonesia sendiri, harus menjaga supaya para nelayan harus berada dalam
wilayah penangkapan ikan yang sudah ditetapkan, sehingga nantinya tidak ‘keluar
jalur’.
Sengketa kedaulatan negara, yang sebenarnya untuk saat
ini minim terjadi, namun kemungkinan dapat timbul. Perbatasan negara yang
kurang jelas, dengan tidak adanya perjanjian perbatasan antar negara-negara
tersebut, merupakan faktor utama pemicu sengketa kedaulatan negara, yang mana
hal ini sangat mempengaruhi zona perikanan tradisional. Ambil contoh semisal
Indonesia, yang belum menetapkan secara sah batas wilayah perairan dengan
Australia dan Timor Leste. Indonesia dengan Australia belum menetapkan
perjanjian perbatasan perairan, yang ada hanya perjanjian pemanfaatan laut
Arafura, sedangkan Indonesia dengan Timor Leste, yang notabene negara yang baru merdeka, juga sulit untuk menetapkan batas-batas
maritim antar kedua negara tersebut. Padahal dengan melihat ketentuan mengenai UNCLOS
1982, untuk mengatasi masalah sengketa kedaulatan negara ini, diperlukan
perjanjian atau penghitungan lain sepanjang memenuhi ketentuan hukum laut
internasional[24].
C.
Saran dan
rekomendasi
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki kurang
lebih 13.000 pulau dan negara maritim yang berada di Kawasan Pasifik, yang
memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah
teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia 2,7 juta km2. Sebagai konsekuensi negara kepulauan dan
negara maritim, problematika yang ‘menghiasi’ kelautan ini selalu muncul dan
terus bergulir seiring dengan berkembangnya zaman. Zona perikanan tradisional,
yang selama ini menjadi salah satu pendukung perekonomian nasional, juga tidak
luput dari permasalahan yang kompleks, seperti illegal fishing, yang sudah diuraikan di atas. Oleh karena itu, hal
ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat selain kerugian material
yang diderita, pula kedaulatan negara menjadi taruhannya.
Menurut penulis, ada beberapa hal yang menjadi penting
untuk dijadikan saran, yaitu:
a.
Merancang dan
menetapkan UU Anti Illegal Fishing, karena selama ini UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan belum mampu menjawab persoalan dalam aspek-aspek perikanan,
khususnya illegal fishing yang kian
merajalela;
b.
Pembentukan
peradilan perikanan yang efektif, yang berwenang menentukan, menyelidiki, dan
memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal
fishing dengan tidak melakukan tebang pilih;
c.
Memperketat
pengawasan pada daerah-daerah tertentu, khususnya wilayah perbatasan, semisal
pada Zona Ekonomi Eksklusif, perairan dalam (internal waters), laut teritorial, agar lalu lintas nelayan,
khususnya nelayan asing dapat dipantau;
d.
Memperketat
pemberian izin atas nelayan asing dalam rangka penangkapan ikan di wilayah
perairan Indonesia, yang kemudian diikuti dengan pembatasan jumlah penangkapan
ikan;
e.
Pembangunan sarana
dan prasarana perairan yang memadai dan modern, khususnya di wilayah pantai dan
perairan perbatasan;
f.
Membantu kesulitan
finansial keuangan nelayan tradisional dengan pinjaman ringan, sehingga mereka
tidak tersaingi dengan nelayan asing dalam mencari dan menangkap ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Chairul Anwar. 1989.
Hukum Internasinal Horizon Baru Hukum
Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Frans E. Likadja
dan Daniel F. Bessie. 1988. Hukum Laut
dan Undang-Undang Perikanan, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hasjim Djalal.
1995. Indonesia and the Law of the Sea,
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Malanczuk, Peter.
1997. Akehurt’s Modern Introduction to
International Law, New York: Routledge.
Mochtar
Kusumaatmadja. 1978. Hukum Laut
Internasional, Jakarta: Penerbit Binacipta.
N.
Shaw, Malcolm. 2003. International Law,
Cambrigde: Cambrigde University Press.
St. Munadjat Danusaputro.1982.
Wawasan Nusantara (dalam Hukum Laut Internasional),
Bandung: Alumni.
[1] Frans E.
Likadja dan Daniel F. Bessie, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 21.
[2] Kompilasi-kompilasi
ini diantaranya di Laut Tengah yaitu Lex
Rhodia atau Hukum Laut Rhodia (pada abad ketujuh); tahun 1494 dibuat
koleksi hukum maritim, Consolato del Mare
(Konsulat dari Lautan); Himpunan Rolles
d’Oleron dalam bahasa Perancis Kuno, merupakan aturan pokok lautan untuk
daerah Atlantik; Sea Code of Whisby,
yang ditetapkan untuk Eropa Utara, lihat Chairul Anwar, Hukum Internasional
Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan,
Jakarta, 1989, hal.1.
[3] Konflik ini
terjadi antara Belanda dengan Inggris, di mana terjadi penutupan laut-laut
tertentu untuk pelayaran, yang sebenarnya ditujukan kepada Spanyol dan
Portugis. Namun reaksi dari Inggris, khususnya dari kalangan penulis buku-buku,
seperti Welwood dan Shelden, hingga Raja James I mengeluarkan larangan bagi
Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris, lebih lanjut lihat
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Jakarta,
1978, hal. 12-13.
[4] Perlu
diketahui bahwa nenek moyang bagsa Indonesia, sejak zaman dahulu sudah berani
mengarungi samudra yang begitu luasnya, termasuk pula yang terkenal dari Bugis.
Kerajaan-kerajaan Bugis, khususnya para pelautnya mengarungi samudra hingga ke
pantai Madagaskar barat. Untuk Kitab Undang-Undang Amana Gappa ini telah di
bahas oleh Carron, dalam disertasi yang berjudul ‘Het Handels en Zeerecht in Adatrechtsregelen van de Rechts kring Zuid
Celebes’ untuk mendapatkan gelar Doktor pada Universitas Leyden tahun 1937,
lihat Ibid, hal 1.
[5] Pendapat ini
penulis kutip dengan mengolah kata sendiri dari Frans E. Likadja dan Daniel F.
Bessie, op. cit, hal. 10.
[6]
Penulis mengambil pernyataan ini dari situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798, yang diakses pada 8 Maret 2013, pukul 0814 WIB.
[7] Pernyataan
ini mengutip pendapat dari Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, yang
diambil dalam artikel ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan’, dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798.
[8] Pernyataan
ini mengutip dari artikel ‘Nelayan di Perbatasan Terlindas Nelayan Asing’ yang
diambil dari situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798.
[9] Pernyataan
ini mengutip dari Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(Kiara), M Riza Damanik, yang diambil dalam artikel ‘Illegal Fishing, Teroris
Bagi Nelayan’, dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798.
[10] Pernyataan
ini Penulis kutip dari artikel ‘Nelayan di Perbatasan Terlindas Nelayan Asing’,
dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798
[12] Hasjim
Djalal, Law of the Sea and Ocean Development Issues for the Pacific Region,
dalam Indonesia and the Law of the Sea,
Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 1995, hal. 71.
[13] Ciri khusus
negara kepulauan Indonesia yang dapat diamati adalah bahwa posisi geografis
Indonesia diapit antara dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) dan dua
samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik). Kekhususan ini tentunya
membedakan Indonesia dengan negara-negara kepulauan lainnya, seperti
Phlilipina, Fiji, Nauru, dan lain-lain. Oleh karena itu, Indonesia ada kalanya
disebut juga ‘Kenusaan’, yang memiliki posisi geografis ‘Antara’, sehingga
dinamakan NUSANTARA. Lebih lanjut lihat St. Munadjat Danusaputro, Wawasan
Nusantara (dalam hukum Laut Internasional), Alumni, Bandung, 1982, hal. 18-19
(perlu dicatat bahwa ketentuan ini sudah digantikan dengan UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan).
[14] Pernyataan
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, dalam bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/24/13283219/Potensi.Laut.Indonesia.1.2.Triliun.AS, 24 Oktober
2012.
[15] Menurut
Penulis, walaupun seperti itu, ada juga sebagian nelayan yang menggunakan
peralatan modern, walau penggunanya masih sedikit, akan tetapi mayoritas masih
menggunakan peralatan tradisional.
[16]
Pernyataan ini mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif
Indonesia Maritime Institute (IMI), Y Pangoanan, dalam artikel ‘Illegal
Fishing, Teroris Bagi Nelayan’, diakses pada situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798 pada tanggal 8
Maret 2013 pukul 08.35 WIB.
[17] Pengaturan
mengenai permasalahan perikanan di ZEE, menurut pengaturan internasional, ini
sudah tercantum dalam UNCLOS III tahun 1982. Aturan ini berlaku bagi negara
berpantai dan negara lainnya, termasuk Indonesia. Konvensi baru ini menetapkan
aturan untuk perlindungan dan pemanfaatan dari sumber-sumber perikanan dalam
Zona Ekonomi Eksklusif serta hak-hak dan kewajiban negara pantai dalam kaitan
dengan sumber-sumber hayati tersebut, lebih lanjut lihat Chairul Anwar, op.
cit, hal. 87.
[18] Pendapat
(dalam satu paragraf) ini mengutip dari artikel ‘Illegal Fishing, Teroris Bagi
Nelayan’, dalam situs http://indomaritimeinstitute.org/?p=798
[19] Lihat Hasjim
Djalal, Implementation of Agreements with Foreigners, dalam... op. cit, hal.
151-167.
[20] Lihat Ibid,
hal. 167, ‘the terms of interim as well
as profit sharing arrangements were not really profitable to Indonesia... The
arrangements concluded in past have had many political overtones’
[22] Perlu menjadi catatan bahwa kebebasan yang dilekatkan pada laut lepas,
bukan berarti laut lepas dapat digunakan tanpa kontrol. Hal ini dikarenakan
bahwa ada sebagian negara yang mengklaim dalam hal pembatasan tertentu yang
juga berada dalam ZEE, Zona Perikanan Eksklusif, dan zona tambahan, sehingga
perlu menjadi perhatian bagi nelayan yang ingin menegkap ikan di laut lepas.
Lihat Peter Malanzscuk, Akehurt’s Modern Introduction to International Law,
Routledge, New York, 1997, hal. 184-185, ‘freedom of the high seas comprises, inter
alia, freedom of navigation, freedom of fishing, freedom to lay submarine
cables and pipelines, and freedom to fly over the high seas. (Some of these
freedoms are limited where a coastal state claims an exclusive fishery zone, an
exclusive economic zone, or a contiguous zone.’
[23] Perlu
diperhatikan bahwa negara kepulauan hanya mengakui hak-hak penangkapan ikan
tradisional (traditional fishing rights),
bukan hak-hak tradisional untuk penangkapan ikan (traditional rights to fish). Ada perbedaan antara 2 kata ini, di
mana hak-hak penangkapan ikan secara tradisional berarti bahwa aktivitas
penangkapan ikan harus sudah dilaksanakan sebelumnya, sedangkan hak-hak
tradisional penangkapan ikan berarti hak umum untuk menangkap ikan di laut
lepas yang berada di bawah hukum yang mana dapat diterapkan kepada setiap
orang, baik menangkap ikan di wilayah tersebut atau tidak. Lihat Hasjim Djalal,
Evolution in the Law of the Sea: from High Seas Regime to Exclusive Economic
Zone to Cooperation, dalam... op. cit, hal. 259-260.
[24] Hal ini dimuat dalam UNCLOS 1982, pada Article 15, yang merujuk pada
Article 12 Geneva Convention on Territorial Sea 1958, yang memuat ketentuan
tentang pembatas laut teritorial antara negara-negara yang berhadap-hadapan
atau yang memiliki pantai yang berdekatan, lebih lanjut lihat Malcolm N. Shaw,
International Law, Cambrigde University Press, Cambrigde, 2003, hal. 506, ‘Article
15 of the 1982 Convention, following basically article 12 of the Geneva
Convention on the Territorial Sea, 1958, provides that where no agreement has
been reached, neither state may extend its territorial sea beyond the median
line every point of which is equidistant from the nearest point on the
baselines from which the territorial sea is measured. This provision, however,
does not apply where it is necessary by reason of historic title or other
special circumstances to delimit the territorial sea of the two states in a
different way’
0 komentar:
Posting Komentar