Lembaga peradilan adalah
lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjaga dan menegakkan keadilan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa “misi suci” (mission sacree)
lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu
sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, “The Supreme Court is not court of justice,
it is a court of law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik
bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa, dan negara; bahkan keadilan yang
dimaksud adalah keadilan demi Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga terciptanya
suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib, dan damai.[1]
Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsi dari lembaga peradilan ini, perlu adanya
pendukung dari lembaga peradilan itu sendiri, yaitu sering disebut dengan
tripilar penegak hukum. Di Indonesia, kita mengenal adanya tiga pilar penegak
hukum, yaitu hakim, jaksa, dan polisi. Ketiga pilar penegak hukum ini harus
berjalan bersama-sama dalam memberantas ketidakadilan dalam masyarakat dan
mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam
prakteknya, ketiga penegak hukum tersebut memerlukan apa yang disebut dengan
etika profesi hukum. Dalam hal ini, penulis mendahului dengan memberikan
beberapa pengertian dari etika profesi hukum.
Dalam
istilah Latin, Ethos atau ethikos selalu disebut dengan mos sehingga dari perkataan tersebut
lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan dengan perkataan moral.[2]
WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa
pengertian etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[3]
Dr. James J. Spiliane SJ. mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku mausia
dalam pengambilan keputusan moral.[4]
Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan
obyektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku
seseorang terhadap orang lain. Sedangkan etika dipandang selain menunjukkan
sikap lahiriah seseorang, juga meliputi kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan
seseorang itu. Dalam sudut pandang terminologi, pengertian etika, menurut New
Masters Pictorial Encyclopedia, mendefinisikan bahwa ‘Ethic is the science of moral phylosophy concerned not wth not fact,
but with values; not with character of, but the ideal human conduct (Etika
ialah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang
nilai-nilai, tidak mengenai tindakan manusia tetapi tentang idenya).[5] Sedangkan
menurut Dictionary of Educational mendefinisikan etika sebagai ‘Ethics the study of human behavior not only
to find the truth of things as they are but also to angire into the wort or
goodness of human action (Etika ialah studi tentang tingkah laku manusia,
tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki
manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah laku manusia).[6]
Dari keseluruhan pengertian ini, berarti dapat disimpulkan bahwa etika
merupakan tingkah laku dari seorang individu dengan ukuran baik atau buruk. Etika
ini sangat terkait dengan moral karena manusia yang baik tentu tidak cukup
hanya bermoral, tetapi juga harus beretika.[7]
Kemudian profesi hukum, yang tetu saja berhubungan langsung dengan profesi dari
para penegak hukum. Suatu profesi dapat didefinisikan secara singkat sebagai
jabatan seseorang kalau profesi tersebut tidak bersifat komersial, mekanis,
pertanian dan sebagainya.[8]
Secara tradisional ada empat profesi: kedokteran, hukum, pendidikan, dan
kependetaan.[9]
Profesi hukum di Indonesia pun terpengaruh pada pengkotak-kotakan yang
digariskan menurut tradisi sistem civil
law.[10]
Hubungan antara etika dengan profesi hukum, sebagaimana dinyatakan oleh Suhrawadi
K. Lubis (2008:6):
‘Hubungan etika dengan
profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa
kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional dibidang hukum terhadap
masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam
rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang
membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, …’[11])
Yang
menjadi fokus penulis dalam paper ini adalah seputar hakim, yang notabene di Indonesia ini, bahkan juga
di negara-negara lain, hakim merupakan ‘tokoh’ sentral penegak hukum, di mana
untuk memberikan putusan terakhir menjadi kewenangannya. Berbagai macam
permasalahan hakim, mulai dari proses persidangan hingga mencapai putusan,
adalah tidak lepas dari suatu bentuk ‘kepentingan’, sehingga bentuk
imparsialitas dari putusan hakim itu sendiri masih menjadi sebuah tanda tanya
besar yang selama ini muncul di tengah-tengah masyarakat. Problematika ini
terus bergulir seiring dengan makin memburuknya kualitas lembaga peradilan di
Indonesia, sehingga terus menyulitkan para pencari keadilan dalam menangani
permasalahannya.
2. Analisis
UU
Nomor 48 Tahun 2009, sudah jelas dan tegas mengatur mengenai kekuasaan
kehakiman, di mana tokoh sentral dari lembaga peradilan di Indonesia, yaitu
hakim, khususnya yang terdapat dalam Pasal 5, sebagaimana dikutip secara
lengkap:
(1)
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
(2)
Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
(3)
Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dalam
ketiga ayat tersebut di atas, ada tiga kewajiban mendasar yang harus dipatuhi
oleh hakim dalam melaksanakan tugas profesinya. Untuk kaitannya dalam hal
pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara terdapat dalam ayat (1).
Berarti, selain menggunakan sarana undang-undang sebagai arah utama dalam
mencari putusan yang menurut hakim terbaik baginya dan kedua belah pihak yang
berperkara, menjadi suatu kewajiban juga bagi hakim untuk menggali, mengikuti,
dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kembali lagi kepada maxim ‘ubi societas
ibi ius’, di mana ada masyarakat disitulah ada hukum, yang secara umum, hukum
yang berada dalam masyarakat itu sendiri dalam bentuk tidak tertulis. Dalam ayat
(2) dapat dilihat bahwa seorang hakim, tentu saja dalam melaksanakan
profesinya, harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Oleh karena itu,
dalam ayat (3), perlunya di sini dibentuk sebuah kode etik dan pedoman perilaku
hakim, yang berfungsi mengawasi hakim-hakim secara personal dalam
kepribadiannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Hakim sendiri dalam proses
peradilan di mana juga terdapat kelanjutan dari pikiran-pikiran yang terdapat
dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2009:92):
Bentuk pekerjaan yang dilakukan
oleh sang hakim, khususnya dalam hubungannya dengan sudut penglihatan yang
dipakai, yaitu melihat proses peradilan sebagai bagian dari proses sosial yang
lebih besar. Lembaga kehakiman akan dilihat sebagai bagian atau kelanjutan dari
pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu,
dalam menjalankan peranannya itu, hakim merupakan:
1.
Pengemban
nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat;
2.
Hasil
pembinaan masyarakat atau yang lazim disebut sosialisasi;
3.
Sasaran
pengaruh lingkungannya.
Beberapa
permasalahan yang muncul pada saat ini yang terjadi di lingkungan peradilan,
terutama dari para hakim, seperti kasus yang cukup populer dalam masyarakat
adalah kasus Mbok Minah yang mencuri tiga buah kakao dari perkebunan milik
pemerintah, di mana hakim masih menjatuhkan putusan 1,5 bulan kurungan dengan
masa percobaan 3 bulan yang dirasa tidak adil oleh sebagian besar masyarakat. Lain
lagi dalam kasus hakim Imas Dianasari yang menerima uang senilai 352 juta
rupiah dari seorang warga Jepang untuk ‘meringankan kasusnya’, bahkan hakim ini
juga mencoba untuk ‘menyogok’ hakim
Mahkamah Agung. Satu lagi berita baru-baru ini yang mencoreng penegak hukum
kita yaitu hakim yang melakukan tindakan asusila berupa pencabulan yang terjadi
di Yogyakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada
persoalan pertama, penulis berfokus pada kewenangan hakim untuk menjatuhkan
putusan. Pada hakikatnya, seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus
independen dan tidak memihak.[12]
Namun, dalam prakteknya terdapat berbagai macam faktor dapat mempengaruhi
putusan dari seorang hakim. Seperti yang dikemukakan oleh Bambang Sutiyoso dan
Sri Hastuti Puspitasari[13],
faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Pertama,
faktor internal, yakni faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam hakim itu sendiri.
Jadi, faktor internal di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan sumber
daya manusia hakim itu sendiri, yaitu mulai dari rekruitmen/seleksi untuk
diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim, dan kesejahteraan hakim. Kedua,
faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim yang
berasal dari luar diri hakim, antara lain:
a. Peraturan
perundang-undangan;
b. Adanya
intervensi terhadap proses peradilan;
c. Hubungan
hakim dengan penegak hukum lain;
d. Adanya
berbagai tekanan;
e. Faktor
kesadaran hukum; dan
f. Faktor
sistem pemerintahan (politik).[14]
Dari
beberapa macam faktor ini, putusan yang dikeluarkan oleh hakim pun beraneka
macam, bergantung dari sudut mana hakim mengkaji suatu kasus dengan
menghubungkan antara dasar hukum yang menjadi titik tolak dalam mengambil putusan.
Selain itu, dalam putusan hakim, menurut Satjipto Rahardjo juga mengemukakan
bahwa konsep-konsep tentang hukum, tentang azas-azas dalam hukum, tentang
metode pengambilan keputusan dan sebagainya merupakan kekayaan yang tersimpan
di dalam diri seorang hakim.[15]
Hal-hal tersebut merupakan kerangka berpikirnya dalam mengambil keputusan. Titon
Slamet Kurnia mengemukakan bahwa:
Hakim
mungkin menerapkan kaidah yang oleh umum tidak dipandang sebagai kaidah hukum
tetapi ketika hakim menerapkan kaidah tersebut maka karena kewenangannya
menjadi kaidah hukum. Misalnya tentang kemungkinan hakim memberikan penilaian
atas suatu perkara berdasarkan pertimbangan tentang kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).[16]
Perihal
mengenai pertimbangan hakim dalam mengambil suatu keputusan berdasarkan
kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono)
dapat dibenarkan selama dalam perkara/kasus tertentu terdakwa memang menurut
hakim sudah pantas dan patut untuk dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatan
yang terdakwa lakukan. Namun, untuk kasus seperti kasus Mbok Minah di atas,
apakah sudah patut dan layak jika seorang nenek yang sudah tua dijadikan
terdakwa dan dijatuhi putusan? Sekali lagi bahwa hakim, sebagaimana terdapat
pada Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009, ayat (1) bahwa hakim berkewajiban menggali,
mengikuti, dan memahami nilai- nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Atas hal ini, Satjipto
Rahardjo berpendapat bahwa:
Di Indonesia, perhatian terhadap
faktor manusia, dalam hal ini hakim, belum berkembang, bahkan dapat dikatakan
belum dapat berkembang sama sekali. Perhatian terhadap faktor manusia yang
dimaksud adalah latar belakang perorangannya, pendidikannya, serta
keadaan-keadaan konkret yang dihadapinya pada waktu akan membuat suatu
keputusan.[17])
Persoalan
kedua adalah seputar etika profesi hakim. Sebagaimana diketahui, etika yang ada
pada profesi, agar terdapat kejelasan mengenai dasar pengaturannya maka
dibutlah kode etik profesi. Secara lengkap, Shidarta (2006:107-108) menjelaskan
mengenai prinsip kode etik (profesi):
Kode etik adalah prinsip-prinsip
moral yang melekat pada suatu profesi yang disusun secara sistematis. Ini berarti,
tanpa kode etik yang sengaja disusun secara sistematis itupun suatu profesi
tetap bisa berjalan karena prinsip-prinsip moral tersebut sebenarnya sudah
melekat pada profesi itu. Meskipun demikian, kode etik menjadi perlu karena
jumlah penyandang profesi itu sendiri sudah demikian banyak, disamping tuntutan
masyarakat bertambah kompleks. Pada titik seperti inilah organisasi profesi
mendesak untuk dibentuk.
Etika
profesi hakim tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
dikeluarkan oleh MA dan KY dalam Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI.
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Perilaku Hakim tersebut diimplementasikan
dalam sepuluh aturan perilaku meliputi (1) berperilaku adil, (2) berperilaku
jujur, (3) beperilaku arif dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas
tinggi, (6) bertanggung jawab, (7) menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin
tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap professional. Dalam
pelaksanaan pemantauan untuk kinerja dari etika hakim ini, maka ada dua cara,
yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal sendiri dilakukan
oleh Majelis Kehormatan Hakim, yang dibentuk oleh beberapa orang anggota hakim,
sedangkan untuk pengawasan Saat ini, kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim
terletak pada Komisi Yudisial, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 UU
Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, secara lengkap menyatakan bahwa:
(1)
Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
(2)
Dalam
melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Mengenai
mekanisme pemberhentian hakim, menurut Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
seorang hakim dapat diberikan sanksi jika terbukti melanggar kode etik dan
kemudian diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial untuk
selajutnya di bawa dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim, di mana hakim terduga
tersebut dapat membela dirinya.[18]
Dalam
perkembangan etika profesi hukum, Shidarta mengemukakan secara mendalam bahwa:
Secara jujur harus diakui bahwa
pengembangan etika profesi hukum di Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam
dunia kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang tidak mendapatkan
penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga semacam dewan
atau majelis pertimbangan profesi yang bertugas menilai pelanggaran etika masih
belum berwibawa di mata para anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan bahan
kajian etika profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada
ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak.[19])
Kembali
kepada kasus hakim yang melakukan tindakan asusila yang sudah diutarakan di
atas bahwa di sini perlu juga diperhatikan mekanisme pemilihan hakim dari
calon-calon hakim yang berintegritas tinggi. Proses rekruitmen yang selama ini
dilakukan oleh Komisi Yudisial, mungkin melihat dari sisi kompetensitas dari
calon hakim yang bersangkutan dan kurangnya melihat kepribadian diri dari calon
hakim. Memang kita tidak dapat melihat ke dalam mengenai kepribadian seseorang,
namun kita bisa melihat dari attitude/sikapnya sebagai calon hakim yang pantas.
Kesimpulan
dan Penutup
Penegak
hukum, dalam hal ini hakim, adalah tokoh sentral dalam sistem peradilan di
Indonesia. Dengan segala pergulatan permasalahan yang dihadapi, persoalan
tentang seorang hakim yang memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mengambil
keputusan dan etika moral yang dimiliki oleh hakim sendiri merupakan hal yang
utama menjadi sorotan dalam masyarakat sebagai pengamat peradilan. Kejelasan
mengenai dasar pengaturan dari kedua hal tersebut sudah jelas terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
apa yang ada dalam peraturan/normatifnya tersebut tidak sesuai dengan in concreto yang ada. Seorang hakim
masih tetap seperti manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,
semuanya kembali kepada hati nurani yang dimiliki oleh hakim, baik dalam
pengambilan keputusan maupun melaksanakan kode etik profesinya. Sebagai saran,
sebagaimana yang dikutip dari Suhrawadi K. Lubis (2008:6-7):
Pengemban profesi hukum haruslah
memiliki keahlian yang berkeilmuan, khususnya dalam bidang itu, oleh karena itu
setiap professional harus secara mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang
memerlukan pelayanan dalam bidang hukum. Untuk itu tentunya memerlukan keahlian
yang berkeilmuan.
Pengembangan profesi seseorang,
tergantung sepenuhnya kepada orang yang bersangkutan tentang apa yang
diperbuatnya untuk mengembangka profesinya tersebut. Secara pribadi ia
mempunyai tanggung jawab penuh atas mutu pelayanan profesinya.
Seseorang pengemban profesi hukum
haruslah orang yang dapat dipercaya secara penuh, bahwa ia (profesional hukum)
tidak akan menyalahgunakan situasi yang ada. Pengembanan profesi itu haruslah
dilakukan secara bermartabat, dan ia harus mengerahkan segala kemampuan
pengetahuan dan keahlian yang ada padanya, sebab tugas profesi hukum adalah
merupakan tugas kemasyarakatan yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai
dasar yang merupakan perwujudan martabat manusia, dan oleh karena itu pulalah
pelayanan profesi hukum memerlukan pengawasan dari masyarakat. Namun, lazimnya
pihak masyarakat tidak mempunyai kompetensi teknik untuk mengukur dan mengawasi
para profesional hukum.
Dengan
beberapa keharusan dalam pengemban profesi hukum yang wajib dilakukan di atas,
diharapkan juga ke depannya bahwa hakim menjadi lebih bermoral baik dan
memiliki hati nurani yang bersih dalam rangka penegakkan hukum dan keadilan,
sehingga lembaga perdilan yang ada di Indonesia pun bisa bersih, netral, dan
adil.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonius
Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya
Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence)
Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Satjipto
Rahardjo. 2009. Penegakkan Hukum Suatu
Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing.
Shidarta.
2006. Moralitas Profesi Hukum Suatu
Tawaran Kerangka Berpikir, Bandung: Refika Aditama.
Suhrawadi
K. Lubis. 2008. Etika Profesi Hukum,
Jakarta: Sinar Grafika.
Titon
Slamet Kurnia. 2009. Pengantar Sistem
Hukum Indonesia, Bandung: Alumni.
Sumber
lain
International Comission
of Jurists (ICJ), 2007. International
Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers and
Prosecutors.
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan
Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009;02/SKB/P.KY/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
UU
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1] Antonius Sudirman,
Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 1
[2] Suhrawadi K. Lubis,
Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Shidarta, Moralitas
Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Bandung, Refika Aditama, hal.
19.
[8] Suhrawadi K. Lubis,
Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10.
[9] J. Spiliane,dalam
Budi Susanto (ed), dkk, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Kanisius,
Yogyakarta, 1992, hal. 41, dalam Suhrawadi K. Lubis, ibid.
[10] Shidarta, op.cit, hal. 119.
[11] Kieser, B, Etika
Profesi, Majalah BASIS No. : XXXV/5. 1986.
[12] Hal
ini dapat dilihat dalam buku panduan ‘International
Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers and
Prosecutors’, yang diterbitkan oleh International
Comission of Jurists, 2007, hal 17-18, ‘For
a trial to be fair, the judge or judges sitting on the case must be independent’;
‘The right to a fair trial requires
judges to be impartial. The right to be tried by an impartial tribunal implies
that judges (or jurors) have no interest or stake in a particular case and do
not hold pre-formed opinions about it or the parties. Cases must only be
decided “on the basis of facts and in accordance with the law, without any restriction”.’
[13] Lihat Bambang
Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Indonesia, Cetakan 1, Yogyakarta: UII Press,hal. 58-63, dalam
Antonius Sudirman, op.cit, hal. 92.
[14] Lihat juga Nur
Ismanto, dalam Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, ibid, hal 94,
dalam Antonius Sudirman, ibid, hal 93.
[15] Satjipto Rahardjo,
Penegakkan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, hal.
94.
[16] Titon Slamet Kurnia,
Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, hal. 72.
[17] Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 91.
[18] Lebih lanjut lihat
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009;02/SKB/P.KY/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, bagian Penutup.
[19] Shidarta. op.cit, hal. 3-4.
ciiiee anak hukum..
BalasHapus;)
yah begitulah, itu mah biasa....halo dek.... ckckckckck... msh di Bekasi kah??
Hapus