Minggu, 28 Desember 2014



Eksaminasi/Kajian atas Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2007 atas dugaan penetapan harga dan kartel harga layanan SMS (Short Messaging Service)
antara:
1.      PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL)
2.      PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel)
3.      PT Indosat, Tbk
4.      PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom)
5.      PT Hutchison CP Telecommunication (3/Three)
6.      PT Bakrie Telecom, Tbk (Esia)
7.      PT Mobile-8 Telecom, Tbk (Fren)
8.      PT Smart Telecom (Smart)
9.      PT Natrindo Telepon Seluler (Axis)

Dalam putusan ini, pihak KPPU sendiri berfokus pada dua hal yang berkaitan dengan perjanjian yang dilarang, yaitu (perjanjian) penetapan harga dan kartel SMS oleh masing-masing pihak operator seluler. Awal mulanya terjadi pada saat para operator seluler ini membuat sebuah perjanjian, yaitu perjanjian kerjasama (PKS) interkoneksi antar operator, yang bertujuan menetapkan harga standar guna menjaga interkoneksi (dapat dikatakan pula ‘stabilitas’) antar operator. BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) sendiri, dalam hal ini telah mengeluarkan warning mengenai PKS tersebut, dan kemudian melakukan melakukan penghitungan harga (dengan kerjasama pihak penghitungan tarif telekomunikasi) untuk mengetahui apakah harga sms selama ini sudah tepat atau belum. Kenyataannya menunjukkan bahwa harga sebuah SMS kurang dari Rp.100 (selama ini rata-rata biaya SMS sekitar Rp. 200-350 per SMS), dan itu sudah termasuk biaya-biaya lain.  Dari beberapa perusahaan operator seluler tersebut, berdasarka fakta yang ditemukan bahwa PT. Indosat, PT. Hutchison CP Telecommunication, dan PT. Natrindo Telepon Seluler tidak melakukan penetapan harga dan kartel SMS (dikarenakan unsur keterpaksaan mereka mengikuti kartel harga SMS).
Legal reason untuk menghadapi kasus ini yang digunakan oleh KPPU sendiri mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu:
Pasal 5 (Penetapan harga)
Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Pasal 11 (kartel)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Namun perlu dilihat lebih teliti unsur dari kedua pasal ini, yaitu penetapan harga dan kartel, di mana walaupun kedua hal ini merupakan macam dari perjanjian yang dilarang, namun memilki unsur yang berbeda. Pada pasal 5 yang mengatur (perjanjian) penetapan harga, dapat dilihat bahwa pelaku usaha ini mengadakan perjanjian guna menetapkan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen (konsumen di sini yang merasa dirugikan), sedangkan untuk Pasal 11 sendiri, yaitu kartel berfokus pada pelaku usaha yang membuat perjanjian guna mempengaruhi harga pasar (yang dirugikan bisa konsumen maupun pelaku usaha lain). Menurut putusan tersebut dapat diambil satu kesimpulan dimana terjadi penetapan harga terlebih dahulu dengan membuat perjanjian kerjasama yang kemudian dijadikan patokan kartel harga SMS operator seluler. Sebenarnya, kartel dan penetapan harga ini merupakan satu kesatuan (walaupun ada perbedaan sedikit mengenai substansi di dalamnya), seperti yang dikemukakan oleh Andi Fahmi Lubis, dkk (2009: 107) penetapan harga termasuk bagian dari kartel. Pertimbangan lain KPPU bahwa kartel harus dilakukan oleh pelaku usaha mayoritas yang menguasai pasar, seperti halnya Telkomsel dan XL (pemain lama).
Pertimbangan KPPU sendiri, diantaranya bahwa kartel harga dari beberapa operator ini telah dilakukan sejak 2004 sampai dengan 2008, dengan omzet yang cukup banyak, sekitar 133 milyar rupiah yang tidak sebanding dengan kerugian konsumen.  Hal ini tentu saja wajar, karena operator seluler ini ingin menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Bahkan, ini juga terjadi harga yang tidak masuk akal, seperti yang sudah diuraikan di atas, yaitu harga per SMS diantara Rp. 250-350 (padahal dengan melihat cost pada operator hanya sekitar Rp. 30-an saja). Konsumen juga dalam hal ini have no choice, tidak dapat berbuat apa-apa, dan juga secara tidak langsung terjadi pen-dikte-an terhadap konsumen mengenai harga.
Perlu diketahui juga bahwa penetapan harga dan kartel ini adalah per se illegal, yang dapat diartikan secara tegas dilarang. Menurut Johnny Ibrahim (2007: 223):
Apabila para pelaku usaha tidak mampu mengendalikan dirinya dan melanggar ketentuan hukum yang mengaturnya (per se illegal), maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang bersangkutan sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat lagi efek yang ditimbulkannya.
Hal ini tercermin dalam putusan KPPU pada kasus penetapan harga dan kartel SMS, bahwa dalam proses pembuktian sudah secara jelas menyatakan dan membuktikan bahwa Telkomsel, Telkom, XL, Esia, Fren telah melanggar ketentuan pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999. 

Referensi
Andi Fahmi Lubis, dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks, Jakarta: kerjasama antara Indonesia dan Deutsche GTZ (Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit).
Johnny Ibrahim. 2007. Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing.

0 komentar:

Posting Komentar