Minggu, 20 Januari 2013



1.    Pendahuluan
Hukum itu buatan manusia, atau dapat dikatakan artifisial. Oleh karena hukum buatan manusia, pastilah ia memiliki maksud untuk dibuat. Dari sinilah filsafat diperlukan untuk mencari apa itu hukum, apa itu hakikat hukum.[1] Kita mengetahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk mengatur perilaku manusia.[2] Namun juga, sampai saat ini dapat dikatakan belum ada mengenai jawaban tentang hakikat hukum itu, karena para ahli memandang hukum juga bergantung dari sudut pandangnya sendiri.
Salah satu sumbangan pemikiran tentang hukum adalah pemikiran dari O. Notohamidjojo, yang secara khusus dibahas dalam paper ini. Walaupun dari sudut pandangnya sendiri untuk mendefinisikan hukum, beliau juga menggunakan beberapa pemikiran dari ahli hukum untuk meramu dan mengkombinasikan hakikat hukum itu sendiri. Menurut beliau, sebagaimana yang diungkap penulis, bahwa hukum itu memiliki dua tujuan pokok, yaitu memanusiakan manusia dan keadilan (yang nanti akan dibahas tersendiri dalam pembahasan). Kedua tujuan ini sangat esensial sekali, karena hukum itu harus memiliki kedua tujuan tersebut.

PERJANJIAN PENYELESAIAN SENGKETA
MAJALAH TEMPO

KESEPAKATAN BERSAMA

Pada hari ini, Selasa, tanggal 1 April 2012, di Salatiga, yang bertanda tangan di bawah ini:
1.      - Ichsan Chairurizal, SH,  pekerjaan swasta, beralamat di Jalan Tanggulrejo, Salatiga
-    Mukti Adi Raharjo, pekerjaan swasta, beralamat di Jalan Tegalrejo, Salatiga
Dalam hal ini mewakili dari pihak TEMPO, yang selanjutnya disebut P I H A K  P E R T A M A

1.      Pendahuluan
Lembaga peradilan adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjaga dan menegakkan keadilan. Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi suci” (mission sacree) lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, “The Supreme Court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa, dan negara; bahkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan demi Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib, dan damai.[1] Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsi dari lembaga peradilan ini, perlu adanya pendukung dari lembaga peradilan itu sendiri, yaitu sering disebut dengan tripilar penegak hukum. Di Indonesia, kita mengenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, dan polisi. Ketiga pilar penegak hukum ini harus berjalan bersama-sama dalam memberantas ketidakadilan dalam masyarakat dan mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam prakteknya, ketiga penegak hukum tersebut memerlukan apa yang disebut dengan etika profesi hukum. Dalam hal ini, penulis mendahului dengan memberikan beberapa pengertian dari etika profesi hukum.