Kamis, 26 Juni 2014


A.    Pendahuluan
Sejak zaman dahulu, laut dikenal sebagai tempat untuk terjadinya kegiatan kelautan. Pemanfaatan laut yang notabene begitu luas, dengan fungsinya sebagai sumber makanan bagi umat manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai sarana untuk penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai tempat untuk bersenang-senang dan rekreasi, dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa[1]. Melihat sejarah pengaturan hukum laut, sebagai bentuk dari hukum laut yang paling dini, pada abad ke-12 telah dikenal berbagai kompilasi dari peraturan-peraturan yang dipakai di laut Eropa[2], sedangkan yang terkenal karena sumbangan pemikiran atas hukum laut adalah Hugo Grotius, yang termuat dalam bukunya yaitu ‘Mare Liberum’ yang terbit pada tahun 1609, di mana pada masa itu pula terjadi konflik antara laut bebas (mare liberum) dengan laut tertutup (mare clausum)[3]. Indonesia sendiri, menurut sejarah, telah membuat pula Kitab Undang-Undang Amana Gappa, yang ditulis dalam bahasa Bugis, yang didalamnya mengandung ketentuan mengenai hukum adat Bugis di bidang pengangkutan laut[4].

Uraian kasus Rawa Tripa

-       Rawa Tripa adalah kawasan rawa yang memiliki lahan gambut terletak di Kabupaten Nagan Raya, sebelah barat daya Provinsi Aceh, dengan luas 61.803 hektar, yang memiliki berbagai keanekaragaman hayati, seperti orang utan, tumbuh-tumbuhan, dsb. Rawa Tripa juga berjejeran dengan kawasan Pegunungan Leuser. Rawa Tripa ini juga termasuk dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang memasukkan Rawa Tripa sebagai Kawasan Strategis berfungsi lindung.