Minggu, 20 Januari 2013


1.      Pendahuluan
Lembaga peradilan adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjaga dan menegakkan keadilan. Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi suci” (mission sacree) lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, “The Supreme Court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa, dan negara; bahkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan demi Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib, dan damai.[1] Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsi dari lembaga peradilan ini, perlu adanya pendukung dari lembaga peradilan itu sendiri, yaitu sering disebut dengan tripilar penegak hukum. Di Indonesia, kita mengenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, dan polisi. Ketiga pilar penegak hukum ini harus berjalan bersama-sama dalam memberantas ketidakadilan dalam masyarakat dan mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam prakteknya, ketiga penegak hukum tersebut memerlukan apa yang disebut dengan etika profesi hukum. Dalam hal ini, penulis mendahului dengan memberikan beberapa pengertian dari etika profesi hukum.
Dalam istilah Latin, Ethos atau ethikos selalu disebut dengan mos sehingga dari perkataan tersebut lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan dengan perkataan moral.[2] WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa pengertian etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[3] Dr. James J. Spiliane SJ. mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku mausia dalam pengambilan keputusan moral.[4] Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan obyektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain. Sedangkan etika dipandang selain menunjukkan sikap lahiriah seseorang, juga meliputi kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang itu. Dalam sudut pandang terminologi, pengertian etika, menurut New Masters Pictorial Encyclopedia, mendefinisikan bahwa ‘Ethic is the science of moral phylosophy concerned not wth not fact, but with values; not with character of, but the ideal human conduct (Etika ialah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai tindakan manusia tetapi tentang idenya).[5] Sedangkan menurut Dictionary of Educational mendefinisikan etika sebagai ‘Ethics the study of human behavior not only to find the truth of things as they are but also to angire into the wort or goodness of human action (Etika ialah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah laku manusia).[6] Dari keseluruhan pengertian ini, berarti dapat disimpulkan bahwa etika merupakan tingkah laku dari seorang individu dengan ukuran baik atau buruk. Etika ini sangat terkait dengan moral karena manusia yang baik tentu tidak cukup hanya bermoral, tetapi juga harus beretika.[7] Kemudian profesi hukum, yang tetu saja berhubungan langsung dengan profesi dari para penegak hukum. Suatu profesi dapat didefinisikan secara singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi tersebut tidak bersifat komersial, mekanis, pertanian dan sebagainya.[8] Secara tradisional ada empat profesi: kedokteran, hukum, pendidikan, dan kependetaan.[9] Profesi hukum di Indonesia pun terpengaruh pada pengkotak-kotakan yang digariskan menurut tradisi sistem civil law.[10] Hubungan antara etika dengan profesi hukum, sebagaimana dinyatakan oleh Suhrawadi K. Lubis (2008:6):
Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional dibidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, …’[11])
Yang menjadi fokus penulis dalam paper ini adalah seputar hakim, yang notabene di Indonesia ini, bahkan juga di negara-negara lain, hakim merupakan ‘tokoh’ sentral penegak hukum, di mana untuk memberikan putusan terakhir menjadi kewenangannya. Berbagai macam permasalahan hakim, mulai dari proses persidangan hingga mencapai putusan, adalah tidak lepas dari suatu bentuk ‘kepentingan’, sehingga bentuk imparsialitas dari putusan hakim itu sendiri masih menjadi sebuah tanda tanya besar yang selama ini muncul di tengah-tengah masyarakat. Problematika ini terus bergulir seiring dengan makin memburuknya kualitas lembaga peradilan di Indonesia, sehingga terus menyulitkan para pencari keadilan dalam menangani permasalahannya.
2.      Analisis
UU Nomor 48 Tahun 2009, sudah jelas dan tegas mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, di mana tokoh sentral dari lembaga peradilan di Indonesia, yaitu hakim, khususnya yang terdapat dalam Pasal 5, sebagaimana dikutip secara lengkap:
(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-  nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Dalam ketiga ayat tersebut di atas, ada tiga kewajiban mendasar yang harus dipatuhi oleh hakim dalam melaksanakan tugas profesinya. Untuk kaitannya dalam hal pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara terdapat dalam ayat (1). Berarti, selain menggunakan sarana undang-undang sebagai arah utama dalam mencari putusan yang menurut hakim terbaik baginya dan kedua belah pihak yang berperkara, menjadi suatu kewajiban juga bagi hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-  nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kembali lagi kepada maxim ‘ubi societas ibi ius’, di mana ada masyarakat disitulah ada hukum, yang secara umum, hukum yang berada dalam masyarakat itu sendiri dalam bentuk tidak tertulis. Dalam ayat (2) dapat dilihat bahwa seorang hakim, tentu saja dalam melaksanakan profesinya, harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Oleh karena itu, dalam ayat (3), perlunya di sini dibentuk sebuah kode etik dan pedoman perilaku hakim, yang berfungsi mengawasi hakim-hakim secara personal dalam kepribadiannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Hakim sendiri dalam proses peradilan di mana juga terdapat kelanjutan dari pikiran-pikiran yang terdapat dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2009:92):
Bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh sang hakim, khususnya dalam hubungannya dengan sudut penglihatan yang dipakai, yaitu melihat proses peradilan sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Lembaga kehakiman akan dilihat sebagai bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dalam menjalankan peranannya itu, hakim merupakan:
1.      Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat;
2.      Hasil pembinaan masyarakat atau yang lazim disebut sosialisasi;
3.      Sasaran pengaruh lingkungannya. 
Beberapa permasalahan yang muncul pada saat ini yang terjadi di lingkungan peradilan, terutama dari para hakim, seperti kasus yang cukup populer dalam masyarakat adalah kasus Mbok Minah yang mencuri tiga buah kakao dari perkebunan milik pemerintah, di mana hakim masih menjatuhkan putusan 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan yang dirasa tidak adil oleh sebagian besar masyarakat. Lain lagi dalam kasus hakim Imas Dianasari yang menerima uang senilai 352 juta rupiah dari seorang warga Jepang untuk ‘meringankan kasusnya’, bahkan hakim ini juga mencoba untuk ‘menyogok’ hakim Mahkamah Agung. Satu lagi berita baru-baru ini yang mencoreng penegak hukum kita yaitu hakim yang melakukan tindakan asusila berupa pencabulan yang terjadi di Yogyakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada persoalan pertama, penulis berfokus pada kewenangan hakim untuk menjatuhkan putusan. Pada hakikatnya, seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus independen dan tidak memihak.[12] Namun, dalam prakteknya terdapat berbagai macam faktor dapat mempengaruhi putusan dari seorang hakim. Seperti yang dikemukakan oleh Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari[13], faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Pertama, faktor internal, yakni faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam hakim itu sendiri. Jadi, faktor internal di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia hakim itu sendiri, yaitu mulai dari rekruitmen/seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim, dan kesejahteraan hakim. Kedua, faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim yang berasal dari luar diri hakim, antara lain:
a.       Peraturan perundang-undangan;
b.      Adanya intervensi terhadap proses peradilan;
c.       Hubungan hakim dengan penegak hukum lain;
d.      Adanya berbagai tekanan;
e.       Faktor kesadaran hukum; dan
f.       Faktor sistem pemerintahan (politik).[14]
Dari beberapa macam faktor ini, putusan yang dikeluarkan oleh hakim pun beraneka macam, bergantung dari sudut mana hakim mengkaji suatu kasus dengan menghubungkan antara dasar hukum yang menjadi titik tolak dalam mengambil putusan. Selain itu, dalam putusan hakim, menurut Satjipto Rahardjo juga mengemukakan bahwa konsep-konsep tentang hukum, tentang azas-azas dalam hukum, tentang metode pengambilan keputusan dan sebagainya merupakan kekayaan yang tersimpan di dalam diri seorang hakim.[15] Hal-hal tersebut merupakan kerangka berpikirnya dalam mengambil keputusan. Titon Slamet Kurnia mengemukakan bahwa:
Hakim mungkin menerapkan kaidah yang oleh umum tidak dipandang sebagai kaidah hukum tetapi ketika hakim menerapkan kaidah tersebut maka karena kewenangannya menjadi kaidah hukum. Misalnya tentang kemungkinan hakim memberikan penilaian atas suatu perkara berdasarkan pertimbangan tentang kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).[16]
Perihal mengenai pertimbangan hakim dalam mengambil suatu keputusan berdasarkan kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) dapat dibenarkan selama dalam perkara/kasus tertentu terdakwa memang menurut hakim sudah pantas dan patut untuk dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatan yang terdakwa lakukan. Namun, untuk kasus seperti kasus Mbok Minah di atas, apakah sudah patut dan layak jika seorang nenek yang sudah tua dijadikan terdakwa dan dijatuhi putusan? Sekali lagi bahwa hakim, sebagaimana terdapat pada Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009, ayat (1) bahwa hakim berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai-  nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Atas hal ini, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa:
Di Indonesia, perhatian terhadap faktor manusia, dalam hal ini hakim, belum berkembang, bahkan dapat dikatakan belum dapat berkembang sama sekali. Perhatian terhadap faktor manusia yang dimaksud adalah latar belakang perorangannya, pendidikannya, serta keadaan-keadaan konkret yang dihadapinya pada waktu akan membuat suatu keputusan.[17])
Persoalan kedua adalah seputar etika profesi hakim. Sebagaimana diketahui, etika yang ada pada profesi, agar terdapat kejelasan mengenai dasar pengaturannya maka dibutlah kode etik profesi. Secara lengkap, Shidarta (2006:107-108) menjelaskan mengenai prinsip kode etik (profesi):
Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi yang disusun secara sistematis. Ini berarti, tanpa kode etik yang sengaja disusun secara sistematis itupun suatu profesi tetap bisa berjalan karena prinsip-prinsip moral tersebut sebenarnya sudah melekat pada profesi itu. Meskipun demikian, kode etik menjadi perlu karena jumlah penyandang profesi itu sendiri sudah demikian banyak, disamping tuntutan masyarakat bertambah kompleks. Pada titik seperti inilah organisasi profesi mendesak untuk dibentuk.
Etika profesi hakim tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dikeluarkan oleh MA dan KY dalam Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Perilaku Hakim tersebut diimplementasikan dalam sepuluh aturan perilaku meliputi (1) berperilaku adil, (2) berperilaku jujur, (3) beperilaku arif dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung jawab, (7) menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap professional. Dalam pelaksanaan pemantauan untuk kinerja dari etika hakim ini, maka ada dua cara, yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal sendiri dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim, yang dibentuk oleh beberapa orang anggota hakim, sedangkan untuk pengawasan Saat ini, kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim terletak pada Komisi Yudisial, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, secara lengkap menyatakan bahwa:
(1)   Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
(2)   Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Mengenai mekanisme pemberhentian hakim, menurut Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, seorang hakim dapat diberikan sanksi jika terbukti melanggar kode etik dan kemudian diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial untuk selajutnya di bawa dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim, di mana hakim terduga tersebut dapat membela dirinya.[18]
Dalam perkembangan etika profesi hukum, Shidarta mengemukakan secara mendalam bahwa:
Secara jujur harus diakui bahwa pengembangan etika profesi hukum di Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam dunia kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang tidak mendapatkan penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga semacam dewan atau majelis pertimbangan profesi yang bertugas menilai pelanggaran etika masih belum berwibawa di mata para anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan bahan kajian etika profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak.[19])
Kembali kepada kasus hakim yang melakukan tindakan asusila yang sudah diutarakan di atas bahwa di sini perlu juga diperhatikan mekanisme pemilihan hakim dari calon-calon hakim yang berintegritas tinggi. Proses rekruitmen yang selama ini dilakukan oleh Komisi Yudisial, mungkin melihat dari sisi kompetensitas dari calon hakim yang bersangkutan dan kurangnya melihat kepribadian diri dari calon hakim. Memang kita tidak dapat melihat ke dalam mengenai kepribadian seseorang, namun kita bisa melihat dari attitude/sikapnya sebagai calon hakim yang pantas.

Kesimpulan dan Penutup

Penegak hukum, dalam hal ini hakim, adalah tokoh sentral dalam sistem peradilan di Indonesia. Dengan segala pergulatan permasalahan yang dihadapi, persoalan tentang seorang hakim yang memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mengambil keputusan dan etika moral yang dimiliki oleh hakim sendiri merupakan hal yang utama menjadi sorotan dalam masyarakat sebagai pengamat peradilan. Kejelasan mengenai dasar pengaturan dari kedua hal tersebut sudah jelas terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi. Tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang ada dalam peraturan/normatifnya tersebut tidak sesuai dengan in concreto yang ada. Seorang hakim masih tetap seperti manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, semuanya kembali kepada hati nurani yang dimiliki oleh hakim, baik dalam pengambilan keputusan maupun melaksanakan kode etik profesinya. Sebagai saran, sebagaimana yang dikutip dari Suhrawadi K. Lubis (2008:6-7):
Pengemban profesi hukum haruslah memiliki keahlian yang berkeilmuan, khususnya dalam bidang itu, oleh karena itu setiap professional harus secara mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum. Untuk itu tentunya memerlukan keahlian yang berkeilmuan.
Pengembangan profesi seseorang, tergantung sepenuhnya kepada orang yang bersangkutan tentang apa yang diperbuatnya untuk mengembangka profesinya tersebut. Secara pribadi ia mempunyai tanggung jawab penuh atas mutu pelayanan profesinya.
Seseorang pengemban profesi hukum haruslah orang yang dapat dipercaya secara penuh, bahwa ia (profesional hukum) tidak akan menyalahgunakan situasi yang ada. Pengembanan profesi itu haruslah dilakukan secara bermartabat, dan ia harus mengerahkan segala kemampuan pengetahuan dan keahlian yang ada padanya, sebab tugas profesi hukum adalah merupakan tugas kemasyarakatan yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai dasar yang merupakan perwujudan martabat manusia, dan oleh karena itu pulalah pelayanan profesi hukum memerlukan pengawasan dari masyarakat. Namun, lazimnya pihak masyarakat tidak mempunyai kompetensi teknik untuk mengukur dan mengawasi para profesional hukum.
Dengan beberapa keharusan dalam pengemban profesi hukum yang wajib dilakukan di atas, diharapkan juga ke depannya bahwa hakim menjadi lebih bermoral baik dan memiliki hati nurani yang bersih dalam rangka penegakkan hukum dan keadilan, sehingga lembaga perdilan yang ada di Indonesia pun bisa bersih, netral, dan adil.

















DAFTAR PUSTAKA

Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakkan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing.
Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Bandung: Refika Aditama.
Suhrawadi K. Lubis. 2008. Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Titon Slamet Kurnia. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni.

Sumber lain
International Comission of Jurists (ICJ), 2007. International Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers and Prosecutors.
 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009;02/SKB/P.KY/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


[1] Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 1
[2] Suhrawadi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Bandung, Refika Aditama, hal. 19.
[8] Suhrawadi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10.
[9] J. Spiliane,dalam Budi Susanto (ed), dkk, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 41, dalam Suhrawadi K. Lubis, ibid.
[10] Shidarta, op.cit, hal. 119.
[11] Kieser, B, Etika Profesi, Majalah BASIS No. : XXXV/5. 1986.
[12] Hal ini dapat dilihat dalam buku panduan ‘International Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers and Prosecutors’, yang diterbitkan oleh International Comission of Jurists, 2007, hal 17-18, ‘For a trial to be fair, the judge or judges sitting on the case must be independent’; ‘The right to a fair trial requires judges to be impartial. The right to be tried by an impartial tribunal implies that judges (or jurors) have no interest or stake in a particular case and do not hold pre-formed opinions about it or the parties. Cases must only be decided “on the basis of facts and in accordance with the law, without any restriction”.’
[13] Lihat Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Cetakan 1, Yogyakarta: UII Press,hal. 58-63, dalam Antonius Sudirman, op.cit, hal. 92.
[14] Lihat juga Nur Ismanto, dalam Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, ibid, hal 94, dalam Antonius Sudirman, ibid, hal 93.
[15] Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, hal. 94.
[16] Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, hal. 72.
[17] Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 91.
[18] Lebih lanjut lihat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009;02/SKB/P.KY/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, bagian Penutup.
[19] Shidarta. op.cit, hal. 3-4.

2 komentar: